Bahaya dari Stigma Depresi dan Bunuh Diri di Sekitar Kita

PERHATIAN
Artikel ini mengandung konten mengenai bunuh diri. Kami tidak menyarankan Anda untuk membaca jika Anda memiliki kecenderungan depresi atau memiliki keinginan bunuh diri. Silakan hubungi psikolog/psikiater terdekat di kota Anda, jika Anda membutuhkan bantuan.

Seminggu terakhir ini, masyarakat dunia berduka atas meninggalnya dua tokoh publik, Kate Spade dan Anthony Bourdain, yang bunuh diri. Selain mereka, terdapat juga berita mengenai kasus bunuh diri dari Gaëtan Mootoo, seorang penggiat hak asasi manusia dari Amnesty International, dan Ines Zorreguieta, adik dari Ratu Belanda, Queen Maxima. Melihat kembali ke sebulan terakhir di Indonesia, kita juga dikejutkan oleh kematian bunuh diri dari dua orang siswi di Blitar dan Jakarta yang masih berusia 15-16 tahun.

Perhatian masyarakat Indonesia terhadap fenomena bunuh diri semakin meningkat sejak setahun terakhir, seiring dengan beberapa gelombang kasus bunuh diri di tahun 2017. Kematian PI yang disiarkan melalui Facebook Live dan kematian seorang manajer selebritis menjadi pemantik dari pembicaraan mengenai bunuh diri masyarakat pada Maret 2017 yang lalu. Di tengah tahun 2017, kita juga kehilangan Chester Bennington dan mendapatkan berita mengenai video bunuh diri kakak-beradik yang direkam dan disebarluaskan ke seluruh media sosial. Di penghujung tahun 2017, kita kembali dikejutkan dengan kehilangan atas sosok Jong Hyun yang berdampak besar sehingga menimbulkan rumor adanya dua kasus percobaan bunuh diri tiruan yang dilakukan oleh fans di Indonesia.

Kasus demi kasus bunuh diri ini tentunya bukan sekedar angka ataupun berita belaka. Kasus demi kasus bunuh diri ini merefleksikan apa yang sedang terjadi di tingkatan masyarakat Indonesia dan global. Tingkat gangguan jiwa sedang meningkat pada tahap global, namun tidak diiringi dengan pengetahuan yang cukup mengenai kesehatan jiwa di masyarakat.

Depresi diprediksi WHO akan menjadi gangguan dengan beban penyakit nomor dua tertinggi di tahun 2020. Depresi pada umumnya bermula pada masa remaja 12 – 24 tahun. Pada tahun 2012, diketahui bahwa usia 10-29 tahun menjadi masa perkembangan yang paling terbebani oleh depresi dan kecemasan. Di Indonesia, terdapat 5,6% remaja usia 15-24 tahun yang memiliki gangguan mental emosional, namun hanya 15,6% di antara mereka yang pernah melakukan pengobatan seumur hidup, dan 6,1% melakukannya dalam dua minggu terakhir. Masalah depresi ini dapat bertahan di kalangan remaja Indonesia hingga usia dewasa, dan berpengaruh pada kualitas hidup mereka serta turut mempengaruhi kualitas hidup generasi keturunan berikutnya.

Ketika depresi ini bertahan dan bertemu dengan faktor biologis, psikologis dan sosial lainnya, hal ini dapat berujung kepada bunuh diri. Seperti depresi, bunuh diri tidak pernah mendiskriminasi siapapun. Pemikiran bunuh diri dapat datang menghantui orang kaya dan miskin, berpendidikan tinggi dan tidak berpendidikan, memiliki karier yang baik dan pengangguran, selebritis dan fans, keluarga bangsawan dan rakyat awam, muda dan tua. Bunuh diri ditemukan melampaui segala macam latar belakang identitas dan kisah hidup.

Menurut WHO, terdapat sekitar 804.000 nyawa hilang karena meninggal bunuh diri di seluruh dunia. Jumlah percobaan bunuh diri diprediksi jauh lebih banyak lagi dari angka kematian. Di Indonesia, sekitar 5,4% remaja di sekolah berusia 13-17 tahun berpikir serius untuk mengakhiri hidup mereka, 5,6% telah membuat perencanaan mengenai percobaan bunuh diri yang hendak dilakukan, dan 3,9% pernah mencoba bunuh diri setidaknya satu kali dalam satu tahun terakhir.

Tentu, banyaknya jumlah orang yang terdampak depresi dan bunuh diri ini merupakan kondisi yang memprihatinkan. Namun, yang jauh lebih memprihatinkan daripada ini semua adalah respons dalam menanggapi mereka yang berhadapan dengan depresi dan pemikiran bunuh diri. Seringkali kita melewatkan tanda peringatan bunuh diri dari individu yang tengah berteriak meminta tolong di balik senyuman ceria, karya yang kreatif, dan sapaan ramah mereka. Kita tidak terbiasa untuk membicarakan mengenai perasaan orang lain ketika perilakunya berubah dari kebiasaan sehari-hari. Kita seringkali sulit menyediakan diri untuk mendengarkan mereka yang sedang berbeban berat.

Yang paling buruk, seringkali kita menemukan ada sebagian dari masyarakat kita yang justru membicarakan kasus bunuh diri dengan dasar asumsi pribadi yang sangat menghakimi, merendahkan dan bahkan menjadikannya sebagai bahan lelucon. Ketika seorang dengan kecenderungan bunuh diri bercerita, alih-alih mengeluarkan respons yang hangat dan suportif, respons yang tidak diharapkan malah keluar dan memperkuat keinginan bunuh diri mereka.

Semua bentuk stigma bunuh diri ini menyebar luas bagaikan virus, yang seringkali dimulai dari pemberitaan yang tidak tepat dari media massa dan konten media sosial daring yang tersebar luas di masyarakat. Stigma ini dimulai mengenai pemaparan kondisi pribadi seseorang yang bunuh diri yang berbasis asumsi dan oversimplikasi, lalu diperparah dengan komentar masyarakat yang mengolok-olok kondisi-kondisi tersebut.

Di era digital, segala sesuatu yang viral dianggap membawa kebenarannya tersendiri tanpa perlu dipertanyakan lagi. Partisipasi dalam penghakiman massal ini tentunya juga disaksikan oleh orang dengan kecenderungan bunuh diri, sehingga mereka semakin merasa putus asa atas kondisinya. Penghakiman massal ini telah menciptakan pembicaraan bahwa bunuh diri adalah suatu hal yang amoral, bahwa memiliki kecenderungan bunuh diri adalah kondisi yang pantas diberikan ceramaah, penghakiman dan cemoohan sosial, sehingga pemilik dari pemikiran bunuh diri ini seharusnya malu agar tidak coba-coba bunuh diri.

Kabar buruknya, rasa malu tidak akan menghapuskan kecenderungan bunuh diri. Pemilik rasa malu atas depresi dan kecenderungan bunuh diri justru akan menyembunyikan kondisi kejiwaan yang dapat merusak citranya di masyarakat sehingga menyebabkan depresinya meningkat. Hal ini dapat dilakukan hingga ke titik menahan dirinya untuk tidak bercerita dan tidak mencari perawatan profesional.

Hanya sedikit di antara orang yang memiliki kecenderungan bunuh diri berhasil mencari bantuan ke orang sekitar maupun bantuan profesional. Sebuah riset dari Kanada menunjukkan bahwa pada kelompok usia di atas 15 tahun, hanya sekitar 40% orang dengan riwayat percobaan bunuh diri dan 60% orang dengan pemikiran bunuh diri, yang berhasil mendapatkan pertolongan profesional yang dibutuhkan. Riset lainnya di Amerika Serikat menunjukkan 44% mahasiswa berusia 21-24 tahun yang duduk di bangku kuliah dan pernah mengalami pemikiran bunuh diri, tidak mencari bantuan sama sekali. Perlu diingat, bahwa ini semua adalah hasil penelitian yang berbeda dengan budaya kolektivis Indonesia, yang memiliki kecenderungan lebih menekankan peranan rasa malu dalam hubungan interpersonal dan standar penerimaan sosial. Stigma publik dan rasa malu memiliki kecenderungan bunuh diri dapat dianggap sebagai penyebab keengganan pencarian bantuan.

Bagi orang dengan kecenderungan bunuh diri, upaya untuk mengakses bantuan dapat menjadi perjuangan antara hidup-mati yang begitu sepi, asing, berliku, dan terjal. Bahkan ketika rasa malu untuk mencari bantuan ini dapat diatasi sekalipun, orang dengan kecenderungan bunuh diri masih harus berhadapan lagi dengan kenyataan masih terbatasnya akses ke pelayanan kesehatan jiwa di Indonesia. Sejak tahun 2014, jalur hotline krisis bunuh diri juga telah ditutup, sehingga semakin menyulitkan mereka untuk bercerita dan mencari bantuan.

Bukankah menjadi begitu ironis untuk menyadari, bahwa di saat bunuh diri tidak mendiskriminasi korbannya, manusia malah mempersulit sesama mereka dengan kecenderungan bunuh diri dalam mencari bantuan?

Cara kita membicarakan depresi dan bunuh diri telah menjadi begitu berbahaya. Kita semua berperan dalam menciptakan norma yang membungkam penderitaan dan permintaan tolong seseorang sehingga ia memutuskan untuk mengambil nyawanya sendiri. Di tengah terbatasnya akses kesehatan jiwa dikarenakan berbagai faktor, diperlukan peranan kita bersama sebagai sesama manusia dan anggota masyarakat untuk aktif dalam mengubah pembicaraan ini.

Saat mendapatkan beragam konten berita, video atau gambar mengenai kondisi penyebab bunuh diri di media sosial, kita perlu mempertanyakan kebenaran kontennya dan memperhatikan dampak negatif dari menyebarluaskan konten bunuh diri. Jangan menyebarluaskan berita bunuh diri, ketika terlalu banyak kronologis dan informasi pribadi yang dijabarkan. Mari kita izinkan keluarga yang ditinggalkan untuk memiliki ruang berduka di tengah masyarakat yang masih menstigma. Tahan diri untuk tidak berkomentar negatif, karena barangkali akan ada orang sekitar kita yang membaca komentar ini dan tersakiti karenanya. Ketika konten virtual mengenai bunuh diri mulai naik, kita dapat mulai menyebarkan lebih banyak konten mengenai kesehatan jiwa, tanda peringatan bunuh diri dan bagaimana cara berbicara yang suportif kepada rekan yang memiliki kecenderungan bunuh diri.

Dalam hubungan sehari-hari, kita dapat mulai lebih memperhatikan orang sekitar kita, terutama mereka yang mungkin terdampak oleh kematian bunuh diri idola mereka, atau bahkan mungkin ada yang terpicu hendak mengakhiri penderitaan dengan cara serupa ketika pembicaraan/konten virtual mengenai bunuh diri terlalu naik ke permukaan. Jika di antara mereka ada yang menunjukkan perubahan perilaku signifikan, tanyakan ada apa yang terjadi, tunjukkan bahwa Anda siap untuk mendengarkan. Segera rujuk ke profesional kesehatan jiwa jika memungkinkan dan gunakan BPJS Kesehatan jika dibutuhkan.

Kita juga mulai dapat belajar untuk menjadi terbuka untuk membahas isi perasaan kita terutama di saat kita membutuhkan bantuan. Dalam budaya yang dipenuhi stigma dan rasa malu atas kondisi kejiwaan dan bunuh diri, memiliki keterbukaan adalah sebuah perjuangan sejati. Tidak perlu takut dengan istilah “baper”. Sangat manusiawi bagi kita untuk dapat merasa, memiliki emosi dengan segala fluktuasi naik-turunnya, atau merasa terluka, rapuh, dan rentan. Kita semua perlu terus mengangkat pesan, bahwa mencari bantuan bukanlah sebuah tanda kelemahan. Mencari bantuan adalah tanda kemampuan untuk mengenali kondisi diri sendiri yang membutuhkan kekuatan tersendiri.

Semua manusia menjalani kehidupannya tidak dalam satu garis lurus datar. Ada kalanya kita terjatuh dalam hidup sehingga semuanya menjadi begitu gelap. Menyadari bahwa potensi bunuh diri dapat terjadi pada siapapun, maka pembagian antara “kita yang sehat jiwa” dan “mereka yang hendak bunuh diri” tidaklah abadi dalam hubungan pencarian bantuan. Barangkali nanti kita yang akan membutuhkan bantuan, barangkali nanti mereka yang memberikan bantuan. Ketika masa-masa itu tiba, semoga kita berada dalam satu titik dimana kita sudah mengusahakan sebaik mungkin untuk mengubah pembicaraan di sekitar kita menjadi jauh lebih konstruktif.

Peranan kita sebagai individu mungkin terasa tidak seberapa, namun masyarakat itu sendiri terdiri dari banyak agen individu yang saling bergantungan dalam proses pembentukannya. Jika kita tidak memulainya dari diri kita, mustahil untuk kita dapat menemukan mereka yang juga hendak memulai untuk tujuan yang sama. Mungkin kondisi atas depresi dan bunuh diri ini tidak semakin membaik karena upaya-upaya kita sebagai bagian dari masyarakat, namun kita dapat saling memperkuat satu sama lain untuk menghadapi semua dengan kepedulian, ketulusan dan welas asih ke sesama.

Di dalam seluruh keterbatasan kita, tidak adanya pelayanan pusat krisis 24 jam untuk bunuh diri dan sedikit pelayanan sistem kesehatan jiwa, pada akhirnya kita hanya memiliki satu sama lain, kita masih memiliki satu sama lain. Di tengah kegelapan, kita selalu dapat menjadi cahaya. Mari kita bersama bersatu untuk hapus stigma, peduli sesama, dan sayangi jiwa!

Benny Prawira Siauw
Benny Prawira Siauw
Benny adalah seorang suicidolog dan penggiat kesehatan jiwa remaja dan populasi khusus lainnya. Sebagai Youth Mental Health and Suicide Prevention Advocate, Benny adalah Penggagas sekaligus Kepala Koordinator Into The Light Indonesia sejak 2013. Ia saat ini sedang menempuh pendidikan Magister Psikologi Sosial Kesehatan di Unika Atma Jaya (bukan seorang psikolog klinis untuk diagnosis dan terapi). Ia bercita-cita menjadi peneliti lapangan terkait aspek perilaku, struktur sosial dan budaya dalam kesehatan jiwa, terutama dalam pembahasan stigma dan faktor risiko bunuh diri. Baginya, kesehatan jiwa tidak dapat dipisahkan dari kesehatan fisik sebagaimana faktor personal individu tidak dapat dipisahkan dari faktor sosial makro. Di sela waktu senggangnya, ia suka berolahraga, tidur dan mengasah rasa dalam rangkaian kata.