Pendidikan untuk Pencegahan Bunuh Diri Pelajar di Indonesia

Bunuh diri di kalangan pelajar menjadi fenomena sosial belakangan ini. Berdasarkan sebuah survey CDC di Amerika Serikat, pada 2011 menunjukkan bahwa 2,4% pelajar kelas 9 – 12 telah melakukan pencobaan bunuh diri. Di Indonesia sendiri, terhitung dari 14 Januari – 11 Mei 2013 ini, setidaknya terdapat 19 kasus bunuh diri yang dilakukan oleh pelajar dengan rentang umur 15 – 19 tahun dari berbagai daerah. Motif di balik tindakan bunuh diri ini sangat variatif seperti karena tak dibelikan motor (Solopos.com, 13 April 2013) atau karena terlalu sering diejek (Kompas, 22 Februari 2013, Kompas, 12 Maret 2013), beberapa disebabkan karena masalah dari keluarga (seru.com, 7 Maret 2013, beritajatim.com, 9 Maret 2013). Tak sedikit dari korban bunuh diri ini yang mengalami masalah traumatik untuk seumurannya, seperti menjadi korban pemerkosaan (Kompas.com, 8 April 2013) atau karena melakukan tindakan yang tidak sesuai dengan norma yang ada dalam masyarakat, seperti menjadi pelaku video pelecehan agama yang dikecam masyarakat (jpnn.com, 21 April 2013). Ada juga yang penyebabnya tak diketahui secara pasti (Tribunjogja.com, 12 Maret 2013, Linggapos.com, 25 Januari 2013).

Beragamnya alasan yang membuat pelajar melakukan bunuh diri menunjukkan bahwa tindakan bunuh diri adalah sebuah tindakan yang disebabkan oleh berbagai faktor. Sulit untuk menjelaskan mengapa seseorang yang berada di dalam keadaan tertentu memutuskan untuk mengakhiri hidupnya, sementara orang lain yang mungkin berada di dalam kondisi lebih buruk tidak memutuskan untuk bunuh diri sama sekali. Adanya faktor multideterminan ini menyebabkan kesulitan untuk memprediksi kapan seseorang akan melakukan bunuh diri (Riyanti, 2010). Ditinjau dari teori diatesis stress model, setiap faktor resiko, faktor stressor, dan faktor protektif dari aspek biologis, psikologis dan sosial seseorang memegang peranannya masing-masing dalam meningkatnya kecenderungan untuk melakukan bunuh diri.

Sebagai contoh, X memiliki faktor resiko biologis untuk melakukan bunuh diri karena memiliki gen warisan ibu yang pernah mencoba melakukan bunuh diri. Saat pertama kali memasuki masa TK, X menjadi korban bullying yang mana ini akan menjadi faktor resiko dari lingkungan sosial. Selain itu, X juga seringkali melakukan personalisasi sehingga selalu menyalahkan dirinya terhadap hal-hal buruk yang terjadi sekitarnya, personalisasi ini bisa menjadi faktor resiko psikologis untuk melakukan bunuh diri. Banyaknya faktor resiko bunuh diri dari biopsikososial ini akan mendorong X untuk melakukan bunuh diri jika X bertemu dengan faktor stressor dari aspek sosial seperti diejek temannya, dari aspek biologis seperti konsumsi alkohol atau dari aspek psikologis seperti mengalami distress akibat beban tugas yang berlebihan di sekolah. Semua faktor resiko bunuh diri ini tidak akan menyebabkan masalah sama sekali, jika X bisa bertemu dengan faktor protektif, misalnya dari aspek psikologis X akhirnya bisa menemukan coping stress yang tepat, rutin berolahraga dan menjauh dari konsumsi zat-zat yang berbahaya bisa dilihat sebagai faktor pelindung dari aspek biologis bagi X atau berada di dalam komunitas yang supportif dan menerima X apa adanya bisa menjadi faktor pelindung dari aspek sosial.

Angka mengenai bunuh diri di Indonesia memang belum terkumpul secara resmi (Riyanti, 2010) namun merebaknya kasus bunuh diri pelajar sudah seharusnya mendapatkan perhatian khusus dari kita semua. Sistem pendidikan sebagai lembaga konservatif memiliki fungsi kontrol sosial (Wuradji, 1988) dalam menanamkan nilai-nilai yang ada. Oleh karena itu, sistem pendidikan seharusnya memperhatikan permasalahan ini sebelum tingkat bunuh diri pelajar Indonesia menjadi semakin tinggi dan menggeser nilai arti hidup menjadi begitu mudah untuk diakhiri dengan tindakan bunuh diri.

Program pencegahan bunuh diri telah banyak dilakukan oleh sekolah-sekolah di Amerika Serikat. Salah satu penelitian telah menunjukkan bahwa program pencegahan bunuh diri secara efektif dapat mencegah dan/atau mengurangi faktor resiko dari bunuh diri. Program-program ini juga telah meningkatkan faktor pelindung untuk mencegah bunuh diri; salah satunya adalah dengan peningkatan efikasi dan harga diri, pemecahan masalah interpersonal, serta dukungan sosial (Durlak, 2000). Sebagai contoh, di Maryland, program pencegahan bunuh diri telah diimplementasikan semenjak pertengahan tahun 1980an, tapi pada akhirnya program pencegahan bunuh diri ditargetkan kepada anak muda, khususnya pelajar di sekolah. Berdasarkan sebuah studi yang dilakukan oleh Big Horn Center for Public Policy menggunakan data dari CDC, Maryland telah menunjukkan penurunan di dalam tingkatan tindakan bunuh diri melampaui batas kelompok usia setelah implementasi program. Pengurangan paling banyak terjadi jenjang umur 15 – 24 tahun yang ditargetkan oleh strategi pencegahan mereka, dimana terdapat 21,4% penurunan tingkatan tindakan bunuh diri di Maryland (Westray, 2001a).

WHO telah menciptakan rekomendasi dan kebijakan yang berdasarkan pada bukti-bukti yang ada untuk sekolah dapat terus meningkatkan promosi kesehatan dengan model 4 tahap (WHO, 2002). Model 4 tahap ini sendiri mencakupi (Waring et al., 2000; WHO, 1999; 2000a) :

  1. Strategi pencegahan universal yang sebenarnya dapat digunakan untuk seluruh populasi dan bukan hanya di sekolah.

Strategi pencegahan universal ini dilakukan dengan meruntuhkan semua jenis halangan untuk mempedulikan sesama manusia seperti stigma antar kelompok, individualisme, dan mitos yang salah terhadap korban bunuh diri. Selain itu, program ini sangat berguna untuk memperkuat pengetahuan mengenai apa yang harus dilakukan dan dikatakan kepada individu yang berpotensi hendak bunuh diri, salah satu caranya adalah melalui penyuluhan dan seminar. Strategi program ini juga meningkatkan akses untuk menolong seperti adanya pusat krisis, hotline service dan tersedianya tim khusus untuk penanganan bunuh diri.

  1. Memiliki spesifikasi target kepada kondisi lingkungan sekitar dan pendidikan kesehatan jiwa untuk semua murid.

Di tahap kedua, sekolah diminta untuk memasukkan materi-materi mengenai kesehatan mental pada pelajaran untuk siswa, melakukan seminar dan penyuluhan kesehatan mental ke sekolah, melatih kemampuan coping siswa menjadi lebih efektif dan meningkatkan kesadaran untuk membantu sesama melalui program pelatihan untuk siswa. Selain siswa, pelatihan juga diberikan kepada konselor sekolah untuk bisa mengenali siswa yang hendak bunuh diri dan cara menangani mereka dengan baik. Dengan cara ini, konselor dan sesama siswa diharapkan dapat meningkatkan faktor pelindung terhadap kecenderungan bunuh diri pada pelajar.

Larangan membawa senjata ke sekolah perlu diketatkan dengan adanya razia. Selain itu, perlu adanya sistem pengaman kepada gedung sekolah yang bertingkat tinggi. Di samping itu, peletakkan cairan kimia harus dipantau, sehingga hanya diletakkan di tempat-tempat yang hanya bisa dijangkau dan diakses oleh pihak yang berwenang di sekolah. Melakukan segala macam upaya untuk menjauhkan pelajar dari alat-alat yang bisa menjadi instrumen bunuh diri lainnya juga perlu diterapkan sebagai langkah pencegahan universal ini.

  1. Mempunyai strategi pencegahan selektif dan strategi pencegahan terindikasi untuk seisi sekolah, terutama pelajar yang diduga memiliki faktor resiko bunuh diri.

Strategi pencegahan selektif difokuskan kepada grup yang terkena paparan faktor stressor sehingga memiliki kemungkinan lebih tinggi untuk bunuh diri. Strategi ini biasanya dilakukan oleh sekolah dengan mengadakan screening terhadap setiap pelajar untuk mengidentifikasi masalah-masalah yang mungkin saja menyebabkan pelajar untuk bunuh diri. Setelah masalah teridentifikasi, maka pihak sekolah bisa mengadakan kelompok dukungan dan pelatihan khusus untuk kelompok pelajar yang teridentifikasi memiliki kecenderungan bunuh diri. Agar memudahkan proses identifikasi, pelatihan konselor sebaya biasanya juga dilakukan agar sesama pelajar bisa lebih terbuka mengenai masalah mereka.

Sedangkan strategi pencegahan terindikasi terfokuskan kepada semua pelajar yang telah diketahui memiliki faktor resiko tinggi. Semua langkah yang dilakukan bukan lagi mengenai meningkatkan faktor pelindung, tapi juga telah menambahkan upaya untuk mengurangi faktor resiko pada pelajar yang hendak bunuh diri ini. Tahapan ini mencakup program-program seperti peningkatan kapasitas bagi kelompok dukungan di sekolah-sekolah, program pelatihan dukungan orang tua, serta manajemen kasus untuk pelajar dengan resiko tinggi untuk bunuh diri di sekolah. Pada tahap ini sekolah juga harus berhubungan dan memiliki rekomendasi dengan lembaga yang bisa memberikan intervensi krisis dan perawatan untuk korban bunuh diri.

  1. Menyediakan intervensi psikososial dan perawatan profesional untuk pelajar dengan masalah kejiwaan ataupun yang terlihat memiliki resiko signifikan di dalam sekolah itu sendiri.

Sinergi antara sekolah dengan ahli kesehatan mental profesional sangat diperlukan di tahapan ini, terutama ketika sudah adanya kasus percobaan bunuh diri. Sekolah harus bisa menyediakan tenaga ahli yang bisa melakukan intervensi kepada lingkungan dan individual untuk mencegah lebih banyaknya korban berjatuhan dari percobaan bunuh diri.

Meningkatnya penggunaan internet dan jejaring sosial di kalangan pelajar seperti Facebook dan Twitter juga dapat digunakan untuk program pencegahan bunuh diri. Dinas Pendidikan dapat berkerjasama dengan para ahli kesehatan jiwa dan organisasi pemuda untuk menghadirkan sebuah situs dan mengaktifkan sebuah akun khusus yang bernuansa remaja dalam memberikan edukasi dan rekomendasi pelayanan kesehatan mental kepada pelajar. Dengan adanya situs dan akun khusus yang membahas kesehatan mental pelajar, pelajar bisa mengakses informasi yang mereka butuhkan dengan jauh lebih mudah.

Secara keseluruhan, model 4 tahap ini sangatlah sejalan dengan apa yang telah diterapkan diri Maryland. Tentunya, semua program pencegahan bunuh diri di sekolah ini hanya akan bisa dilaksanakan dan membuahkan hasil apabila adanya kesadaran dan dukungan dari pemerintah serta masyarakat atas pentingnya kesehatan jiwa di dalam sistem pendidikan itu sendiri. Program pencegahan bunuh diri di sekolah seyogyanya juga perlu menjadi sebuah perhatian bersama untuk dikaji dan dikelola dalam kebijakan pemerintahan di sektor pendidikan. Kebutuhan pelajar di sekolah, bukan hanya sekedar untuk mendapatkan pengetahuan intelektual tapi juga untuk mendapatkan haknya atas kesehatan jiwanya. Untuk setiap nyawa pelajar yang melayang karena bunuh diri adalah sebuah barometer lemahnya perhatian terhadap kondisi dan kesehatan jiwa. Mari kita cerahkan Indonesia dengan pelajar yang lebih sehat jiwa dan lebih menghargai hidup mereka untuk membangun bangsa.

*Dari berbagai sumber

Esai ini pernah diikutsertakan sebagai prasyarat mengikuti Simposium Kesehatan Jiwa yang diselenggarakan oleh Fakultas Psikologi Universitas Indonesia.

Benny Prawira Siauw
Benny Prawira Siauw
Benny adalah seorang suicidolog dan penggiat kesehatan jiwa remaja dan populasi khusus lainnya. Sebagai Youth Mental Health and Suicide Prevention Advocate, Benny adalah Penggagas sekaligus Kepala Koordinator Into The Light Indonesia sejak 2013. Ia saat ini sedang menempuh pendidikan Magister Psikologi Sosial Kesehatan di Unika Atma Jaya (bukan seorang psikolog klinis untuk diagnosis dan terapi). Ia bercita-cita menjadi peneliti lapangan terkait aspek perilaku, struktur sosial dan budaya dalam kesehatan jiwa, terutama dalam pembahasan stigma dan faktor risiko bunuh diri. Baginya, kesehatan jiwa tidak dapat dipisahkan dari kesehatan fisik sebagaimana faktor personal individu tidak dapat dipisahkan dari faktor sosial makro. Di sela waktu senggangnya, ia suka berolahraga, tidur dan mengasah rasa dalam rangkaian kata.