Berdasarkan laporan dari WHO pada 2012, angka kematian bunuh diri di Indonesia mencapai 9.105 nyawa. Tahun ini, WHO kembali merilis publikasi terbaru yang menyatakan setidaknya 4% dari remaja berumur 13-17 tahun telah mencoba bunuh diri minimal satu kali dalam setahun terakhir. Satu hal yang perlu kita sadari bersama, bahwa angka ini bukan sekedar angka biasa yang kita baca. Angka ini tentang nyawa dan kehidupan yang bertautan dengan kehidupan orang di sekitar mereka.
Jauh sebelumnya sejak tahun 2001, WHO telah memprediksi bahwa depresi akan menjadi penyebab beban penyakit kedua tertinggi di seluruh dunia pada tahun 2020. Depresi, seperti yang selama ini kita ketahui, adalah faktor risiko terbesar untuk perilaku bunuh diri. Depresi bagaikan kegelapan yang menyelimuti hati individu, stigma bagaikan kegelapan yang menutupi mata kita atas individu yang rentan ini. Keduanya membentuk jalan menuju kematian bunuh diri bagi individu yang tidak terdengar.
Di sisi lain, Indonesia diprediksi akan mendapatkan bonus demografi, mulai tahun 2020 hingga mencapai puncaknya pada tahun 2030. Jika kita semua tidak mencegah lebih lanjut potensi bahaya dari depresi dan bunuh diri, maka dikhawatirkan bonus demografi kita terancam menjadi bagian dari beban demografi. Semua angka yang tertulis berpotensi melonjak dan menimbulkan permasalahan yang lebih nyata lagi di masyarakat kita. Kita akan kehilangan banyak sumber daya manusia di usia produktif jika kita tidak mulai bertindak.
Sepanjang tahun 2017, kita semua telah dikejutkan dengan gelombang pemberitaan kematian bunuh diri yang terus menerus terjadi. Bagi kami, ini adalah pertanda krisis kesehatan jiwa dan bunuh diri sudah dimulai. Gelombang kasus kematian bunuh diri ini memberikan kesempatan kita untuk merefleksikan diri.
Dari setiap kasus yang muncul ke permukaan, kita dapat menyadari bahwa ada kisah-kisah yang selama ini barangkali tidak pernah kita dengar. Barangkali kisah-kisah serupa ada di sekitar kita, di antara orang yang kita sayangi namun mereka terlalu malu untuk membicarakannya. Di detik-detik seseorang berpikir hendak bunuh diri, rasa sakit menjadi begitu luar biasa. Namun karena stigma, kita jarang mendengar teriakan mereka, kita menjadi enggan dan bahkan berpotensi menyalahkan mereka. Sekarang, kita harus menyadari bahwa kita hanya memiliki sedikit waktu untuk belajar mendengar.
Tema Hari Pencegahan Bunuh Diri Sedunia untuk 10 September 2017 ini adalah “Luangkan Satu Menit, Mengubah Satu Kehidupan“. Saya, Anda, kita, dan mereka dapat berpartisipasi untuk mendengar satu sama lain, sehingga krisis bunuh diri ini dapat ditanggulangi dengan baik. Bersama, kita dapat saling membantu untuk meringankan beban dan menyelamatkan nyawa.
Salah satu tantangan pertama sebelum kita dapat berkontribusi dalam mencegah bunuh diri adalah belajar untuk mendengar. Seringkali, kita semua terlampau sibuk dengan asumsi, nilai pribadi yang diajarkan sejak kecil, dan penghakiman di kepala kita. Bagaimana mungkin kita punya ruang dan waktu untuk mendengar dan memahami kondisi orang lain, jika kita terlampau sibuk dengan pemikiran dan perasaan negatif di dalam kepala kita sendiri?
Mari kita bersama menyisihkan sedikit waktu, sumbangkan sedikit tenaga, tahan semua penghakiman dan asumsi pribadi tentang orang yang hendak bunuh diri. Dengan demikian, kita dapat perlahan-lahan belajar untuk hadir, mendengar dan menyimak setiap kisah yang ada.
Ruang untuk mendengarkan dan membicarakan permasalahan bunuh diri menjadi sangat penting untuk terus dibangun. Wacana mengenai pencegahan bunuh diri tidak hanya menjadi milik psikolog, psikiater, perawat jiwa, atau tenaga professional kesehatan jiwa. Wacana mengenai pencegahan bunuh diri sudah menyebar dan harus terus menjadi perhatian dari semua orang di berbagai sektor. Adanya partisipasi aktif dari kita semua dapat menumbuhkan harapan untuk kondisi yang lebih baik, bukan hanya bagi individu yang rentan tapi juga kesehatan jiwa masyarakat secara umum.
Krisis kesehatan jiwa dan bunuh diri ini dapat kita lalui jika kita mau bersatu dan bergerak bersama. Harapan pernah ada, karena mereka yang putus asa merasa didengar. Harapan masih ada, jika kita terus belajar untuk mendengar. Harapan akan selalu ada, jika semua orang mau meluangkan satu menit untuk mengubah satu kehidupan. Sekarang, adalah saatnya kita mengembangkan potensi kita sebagai makhluk sosial dengan belajar untuk mendengar dan menyimak kehidupan sesama.
Karena setiap nyawa sangat berharga, mari kita mulai hapus stigma, peduli sesama dan sayangi jiwa!
Dengan cahaya dan cinta untuk Anda,
8 September 2017
Kepala Koordinator Into The Light Indonesia
Benny Prawira