Artikel ini aslinya dimuat di Beritagar.id, ditulis oleh Muammar Fikrie.
Benny Prawira bersama komunitas Into The Light berusaha menjadi “teman curhat” bagi mereka yang dilanda depresi, sebagai usaha untuk mencegah bunuh diri.
Medio 2012, Benny Prawira mendapati fakta, tiap pekan ada pemberitaan kasus bunuh diri di media daring. Bahkan, pemberitaan bunuh diri bisa muncul saban hari ketika mencapai puncak.
Ia pun gelisah dan mulai memandang kecenderungan bunuh diri serta depresi sebagai perkara serius. “Ada juga beberapa kejadian di sekitar saya. Beberapa teman-teman mengaku pengenmati,” ujarnya.
Setahun kemudian, Benny dan empat rekannya menggagas seminar pencegahan bunuh diri bertajuk “Into The Light”. Kala itu, Benny baru berusia 24 dan masih tercatat sebagai mahasiswa Fakultas Psikologi di Universitas Bunda Mulia, Jakarta.
Kepanitaan tengah giat mempromosikan seminar, tatkala satu pesan masuk ke akun media sosial mereka. Seorang remaja yang berdomisili di luar Jawa mengirim pesan tentang riwayat depresi serta percobaan bunuh diri yang menimpanya.
“Pesan itu bikin kami berpikir: mesti ada layanan pencegahan bunuh diri, enggak bisa kalau seminar doank,” kata Benny.
Into The Light pun berkembang menjadi komunitas yang mendorong kesadaran masyarakat mengenai pencegahan bunuh diri. Belakangan, mereka juga menggelar pendampingan sebaya untuk membantu orang keluar dari rasa depresi sekaligus mencegah bunuh diri.
Nama mereka sering terdengar beberapa pekan terakhir–menyusul maraknya kasus bunuh diri. Media menempatkan Into The Light sebagai rujukan, beriring alpanya pusat layanan pencegahan bunuh diri (500-454) milik Kementerian Kesehatan.
Pun, Benny dan rekan-rekannya jadi sering diminta berpendapat dalam kasus bunuh diri, mulai dari peristiwa tewasnya bintang rock Chester Bennington, hingga kejadian yang mengambil nyawa dua perempuan bersaudara di Bandung.
Seperti pada Rabu malam (26/7), Benny tampak sibuk menjawab pertanyaan tiga jurnalis di Cafe de Manila, FX Sudirman, Jakarta. Di tengah wawancara, ia sesekali mengetik di layar ponsel demi membalas pesan pewarta lain. Tatkala tanya-jawab usai, ia pun masih harus menjawab telepon dari media lain.
Lepas menutup telepon, pria berkacamata itu bergegas menyapa Muammar Fikrie dan fotografer Andreas Yemmy Martiano dari Beritagar.id. Kami pun mulai bercakap-cakap di satu sudut Cafe de Manila.
Benny, yang mengenakan baju hangat berwarna jambon, bertutur bak periset yang tengah mempresentasikan fenomena spesialisasinya. Ia cakap menerangkan situasi depresi dan kecenderungan bunuh diri; melempar kritik atas model pemberitaan media dan percakapan warganet; memberi catatan atas data kasus bunuh diri di Indonesia.
Ia memang tengah fokus mendalami Suicidology, bidang ilmu yang mempelajari perilaku dan pencegahan bunuh diri. Ketertarikan itu membawanya bergabung sebagai Youth Advisory Board di National Center for The Prevention of Youth Suicide, sebuah lembaga asal Amerika Serikat yang fokus pada pencegahan bunuh diri di kalangan remaja.
Pria berusia 28 itu menjalankan tugas sebagai Kepala Koordinator Into The Light di sela kesibukan mengejar gelar magister bidang Psikologi Sosial Kesehatan di Universitas Katolik Indonesia Atma Jaya, Jakarta. “Di Into The Light semuanya sukarela, baik tenaga atau biaya. Anggotanya ada yang kerja, ada yang kuliah,” katanya.
Selama wawancara, Benny didampingi pegiat Into The Light lainnya, Venny Asyita (28) dan Listiyani (28). Sesekali, Listiyani menimpali pertanyaan Beritagar.id dalam kapasitasnya sebagai penyintas depresi berkecenderungan bunuh diri.