Pentingnya Suicide Postvention: Upaya Setelah Kematian Bunuh Diri

Pada tahun 2017, beberapa fans Linkin Park diberitakan melakukan bunuh diri paca kematian Chester Bennington.

Bunuh diri tiruan (copycat suicide) mengalami peningkatan sebanyak 10% dalam kurun waktu lima bulan pasca kematian Robin Williams.

Seorang ibu mengalami depresi akibat mendapatkan stigma dari lingkungannya pasca anak semata wayangnya bunuh diri.

Pada awalnya, saya hanya mengenal dua pendekatan dalam menangani kasus bunuh diri: suicide primary prevention dan suicide crisis intervention. Namun, ketika melihat fenomena di atas, saya tersadar bahwa peristiwa bunuh diri sangat mungkin untuk menimbulkan berbagai konsekuensi negatif. Seperti misalnya stigma dari masyarakat, masalah kesehatan mental pada keluarga atau orang terdekat, hingga copycat suicide. Oleh karena itu, saya yakin bahwa memang seharusnya ada langkah-langkah tertentu yang dapat dilakukan untuk mencegah dampak negatif setelah adanya peristiwa bunuh diri.

Pada saat itulah saya mengenal istilah suicide postvention.

Apa itu suicide postvention?

Menurut Survivors of Suicide Loss Task Force (2015), suicide postvention adalah upaya sistematis yang terorganisir setelah adanya peristiwa bunuh diri, yang dilakukan untuk:

  • Memfasilitasi pemulihan individu dari duka dan tekanan akibat kehilangan seseorang yang melakukan tindakan bunuh diri.
  • Mengurangi efek negatif dari paparan media akan peristiwa bunuh diri.
  • Mencegah terjadinya bunuh diri pada orang-orang yang berisiko tinggi setelah terpapar berita bunuh diri.

Mengapa suicide postvention menjadi penting?

Menurut saya, suicide postvention juga merupakan bentuk pencegahan (prevention). Mungkin hal ini terdengar tidak logis, bagaimana mungkin mencegah ketika peristiwa itu sendiri sudah terlanjur terjadi?

Perlu diingat bahwa satu peristiwa bunuh diri sering kali diiringi dengan banyak konsekuensi negatif, salah satunya adalah kasus bunuh diri tiruan yang serupa (copycat suicide). Dengan demikian, suicide postvention adalah bagian dari suicide prevention itu sendiri.

Selain itu, menurut Erlich dkk. (2017), suicide postvention juga penting dilakukan karena:

  1. Diperkirakan, setiap 1 individu yang meninggal bunuh diri, paling tidak ada 6 – 28 individu yang secara langsung terkena dampak dari kematian tersebut. Individu ini berisiko mengalami post-traumatic stress disorder (PTSD), depresi, pemikiran bunuh diri, dan penyalahgunaan zat. Mereka biasa dikenal sebagai penyintas kehilangan bunuh diri.
  2. Banyak dari mereka yang ditinggalkan individu yang meninggal karena bunuh diri, merasa mendapat dukungan sosial yang lebih sedikit daripada yang mereka butuhkan dalam menghadapi kematian tersebut.
  3. Suicide postvention penting untuk mengurangi risiko terjadinya bunuh diri selanjutnya pada individu yang berisiko, membina hubungan di antara para penyintas kehilangan, dan membangun sumber daya komunitas dan dukungan sosial untuk para penyintas kehilangan.

Siapa yang memerlukan suicide postvention?

Idealnya, suicide postvention dapat diterapkan pada populasi yang berada dalam risiko tinggi setelah adanya peristiwa bunuh diri. Menurut Lahad dan Cohen (2006), populasi yang berada dalam risiko tinggi setelah peristiwa bunuh diri adalah mereka yang memiliki kedekatan psikologis, sosial, dan geografis dengan orang yang meninggal bunuh diri.

Dikutip dari Norton (2015), populasi tersebut biasanya terdiri dari:

  • Penyintas kehilangan bunuh diri, yakni anggota keluarga dari individu yang meninggal karena bunuh diri. Penyintas kehilangan bunuh diri ini umumnya memiliki risiko bunuh diri yang sangat tinggi.
  • Teman-teman, saksi mata, orang yang pertama kali tiba di lokasi kejadian, terapis/psikolog, serta kerabat dari individu yang meninggal karena bunuh diri. Individu tersebut rentan untuk mengalami PTSD.
  • Kelompok rentan dan terpapar berita bunuh diri. Kelompok ini memerlukan adanya press release yang aman dan positif mengenai berita bunuh diri yang terjadi agar dapat menghindari copycat suicide. Khususnya, jika individu yang meninggal karena bunuh diri merupakan tokoh idola yang dikenal oleh masyarakat luas.

Lalu, bagaimana suicide postvention bekerja?

Suicide postvention dapat bekerja dalam ranah yang luas dengan melibatkan berbagai pihak.

  • Segera setelah adanya peristiwa bunuh diri, suicide postvention dapat dilakukan dengan bekerja sama dengan media untuk mendorong pemberitaan yang aman. Misalnya, dengan melaporkan berita secara tepat, netral, serta tetap menjaga privasi orang yang melakukan bunuh diri maupun keluarga atau kerabatnya.
  • Menolong orang-orang yang terkena dampak dari peristiwa bunuh diri untuk membantu berduka dengan cara yang dapat menghindari risiko copycat suicide.
  • Membangun kapasitas tenaga dukungan dan perawatan, meliputi profesional dan peer-support, untuk mereka yang membutuhkan.
  • Menyediakan dukungan dan petunjuk untuk teman dan anggota keluarga yang berkabung.

Mari bergerak bersama untuk hapus stigma, peduli sesama, dan sayangi jiwa!

Dengan cahaya dan cinta untuk kita semua,

Amira Budi Mutiara
Task Force Suicide Postvention
Into The Light Indonesia 2018

Amira Budi Mutiara
Amira Budi Mutiara
As a Curious Mental Health Analyst, Amira is a psychology student who loves to write and learn new things. She's also a survivor who believes that tomorrow will be a better day. You can catch her on Twitter @amirabdmtr. Perhaps she would like to share a cup of coffee and discuss things with you :)