Bulan kemarin, Task Force: Suicide Postvention Into the Light Indonesia telah membahas mengenai suicide postvention. Salah satu fungsi dari suicide postvention adalah untuk memfasilitasi pemulihan individu dari duka dan tekanan akibat kehilangan seseorang karena bunuh diri. Salah satu populasi yang memerlukan suicide postvention adalah suicide loss survivor atau penyintas kehilangan bunuh diri. Sayangnya, kita seringkali melupakan kondisi dan kebutuhan para penyintas kehilangan bunuh diri. Padahal, mereka memiliki risiko bunuh diri yang sangat tinggi.
Lalu, siapakah penyintas kehilangan bunuh diri itu? Apa saja yang sering mereka alami dan bagaimana kita dapat berempati kepada mereka? Mari, kita kenali bersama.
Apa itu penyintas kehilangan bunuh diri?
Menurut American Association of Suicidology (2014), penyintas kehilangan bunuh diri adalah anggota keluarga atau teman dari seseorang yang meninggal karena bunuh diri[1]. Dari setiap kematian karena bunuh diri, diperkirakan setidaknya ada 4-8 penyintas kehilangan bunuh diri[2].
Siapa saja yang dapat menjadi penyintas kehilangan bunuh diri?
Meski biasanya individu yang paling terkena dampak dari kematian adalah orang-orang yang dekat dengan orang yang meninggal karena bunuh diri, tetapi penyintas kehilangan bunuh diri tidak terbatas pada keluarga dan teman saja. Menurut Young dkk. (2012), orang lain di sekitar orang yang meninggal karena bunuh diri juga dapat terkena dampak. Mereka diantaranya adalah kekasih atau pasangan, perespon layanan gawat darurat, penyedia layanan kesehatan, kerabat kerja, dan kenalan dari orang yang meninggal karena bunuh diri[3].
Apa saja yang sering dialami penyintas kehilangan bunuh diri?
Kehilangan seseorang karena bunuh diri seringkali mengejutkan, menyakitkan, dan tidak disangka[1]. Proses berduka yang dihadapi karena kejadian bunuh diri lebih rumit dibandingkan dengan kematian akibat hal lainnya[3]. Terdapat beberapa emosi yang sering dialami selama proses berduka, antara lain:
Kebingungan
Rasa bingung sering dirasakan para penyintas kehilangan bunuh diri, terutama mengenai alasan orang tersebut melakukan bunuh diri. Kebingungan menjadi lebih besar ketika tidak ada kepastian apakah kematian terjadi karena benar-benar bunuh diri atau terlihat seperti bunuh diri. Ketika orang yang meninggal tersebut terlihat merasa lebih baik dan penuh harapan di waktu terakhirnya, hal ini juga dapat menyebabkan kebingungan yang lebih jauh[4].
Rasa bersalah
Penyintas kehilangan bunuh diri seringkali merasa bersalah karena merasa gagal atau tidak bisa melakukan sesuatu untuk mencegah kematian orang yang meninggal bunuh diri. Mereka merasa dihantui oleh tanggung jawab, bahwa kematian tersebut merupakan kesalahannya. Jika hubungan antara penyintas kehilangan bunuh diri dengan orang yang meninggal karena bunuh diri kurang menyenangkan, penyintas kehilangan bunuh diri juga dapat merasa takut terlihat tidak sensitif atau tidak peduli[4].
Rasa malu
Karena adanya stigma terhadap bunuh diri di masyarakat, penyintas kehilangan bunuh diri seringkali merasa tidak nyaman atau tidak dapat menerima bahwa orang tersebut meninggal karena bunuh diri. Mereka juga bisa saja merasa malu akan pandangan masyarakat. Mereka khawatir akan dianggap sebagai seorang teman atau keluarga yang buruk, serta orang lain akan menyalahkan dirinya atas kematian tersebut. Hal ini dapat membuat mereka memilih merahasiakan kematian tersebut, atau berpura-pura bahwa hal itu tidak pernah terjadi, dan hal tersebut dapat menyebabkan tekanan emosi serius[4].
Kemarahan
Penyintas kehilangan bunuh diri seringkali marah kepada orang yang meninggal karena telah meninggalkan dirinya. Selain itu, rasa marah juga dapat ditujukan kepada dirinya sendiri (karena rasa bersalah), anggota keluarga, kenalan lain, dan pelayanan kesehatan karena tidak melakukan hal yang lebih untuk mencegah kematiannya. Dalam beberapa kasus, para penyintas kehilangan juga bisa merasa marah kepada Tuhan atau dunia secara keseluruhan[3].
Trauma
Jika penyintas kehilangan bunuh diri menjadi saksi dari kejadian bunuh diri, gambaran kejadian yang eksplisit itu dapat mengganggu dan terus terputar di pikirannya. Jika penyintas kehilangan bunuh diri tidak menjadi saksi dari kejadian bunuh diri, imajinasi akan gambaran kejadian bisa jadi lebih mengganggu. Reaksi-reaksi ini dapat berkaitan dengan gejala post-traumatic stress disorder (PTSD)[4].
Proses berduka tersebut dapat menjadi lebih kompleks dengan adanya efek stigma. Stigma yang ada dapat menghambat proses pencarian bantuan penyintas kehilangan bunuh diri dan menghambat orang sekitar dalam memberi dukungan serta pengertian kepada penyintas kehilangan bunuh diri[1]. Stigma yang ada ini juga berkaitan dengan faktor risiko bunuh diri penyintas kehilangan bunuh diri, seperti isolasi sosial dan merasa kehilangan harapan[5].
Bagaimana kita dapat berempati kepada mereka?
Setelah mengenali penyintas kehilangan bunuh diri dan mengetahui hal-hal yang sering mereka dialami, bagaimana kita dapat berempati kepada mereka?
Hadir dan Dengarkan
Karena adanya stigma terhadap bunuh diri di masyarakat, penyintas kehilangan bunuh diri seringkali ragu untuk berbagi dan mengutarakan perasaannya. Hadir di sampingnya, menjadi pendengar, dan menjadi tempat aman untuk berbagi dan mengutarakan perasaan tanpa penghakiman, kritik, maupun prasangka adalah salah satu hal terpenting bagi mereka dalam menghadapi proses berduka.[1]
Bersabar
Penyintas kehilangan bunuh diri mungkin akan bercerita hal yang sama beberapa kali. Dalam tahap ini, penting untuk mendengarkannya dengan sabar, sebab pengulangan cerita ialah bagian dari proses pemulihan. Selain itu, penting juga untuk membiarkan mereka bercerita hanya jika mereka siap. Mereka akan berbagi hal yang mereka rasa siap untuk dibagikan, di saat mereka betul-betul siap untuk berbagi.[1]
Hindari Berkata “Saya Mengerti Perasaanmu”
Kalimat seperti “saya mengerti perasaanmu” sebaiknya dihindari, karena proses berduka atas kematian bunuh diri tidak sama dengan kematian karena hal lainnya. Setiap proses berduka adalah unik dan tidak dapat dibanding-bandingkan. Sebagai gantinya, cukup tunjukkan bahwa kita peduli dengan mereka dan akan ada disana untuknya ketika mereka membutuhkan[4].
Hindari Bertanya Mengenai Metode Bunuh Diri
Jika penyintas kehilangan bunuh diri tidak mengangkat bahasan mengenai metode bunuh diri, maka kemungkinan ia memilih untuk tidak membahasnya. Namun jika ia menyebutkan metode tersebut, hindari menanyakan lebih detail dari apa yang ia katakan secara sukarela. Lebih baik, tawarkan pembicaraan yang tidak memaksa, seperti “apakah ada yang ingin dibicarakan mengenai kematian dia?”. Jika tidak ada, beri tahu mereka akan kehadiran kita untuk mendengarkan jika mereka ingin bicara[4].
Tawarkan Perawatan Profesional
Perawatan profesional dapat membantu penyintas kehilangan bunuh diri dalam melewati proses berduka mereka secara baik. Bantu mereka untuk menemukan dan mengatur jadwal untuk profesional seperti psikolog, terapis, atau psikiater terdekat[4].
Proses berduka atas kematian bunuh diri merupakan hal yang kompleks dan berbeda dari berduka karena kematian dengan sebab lainnya. Hadir di samping mereka dan membantu mereka melewati proses berduka merupakan salah satu hal terbaik yang dapat kita lakukan sebagai wujud empati kita kepada penyintas kehilangan bunuh diri. Mengingat banyaknya penyintas kehilangan bunuh diri yang membutuhkan dukungan dari teman-teman sekitar, mari kita bersama-sama membantu dengan menyebarkan informasi ini. Mari bergerak bersama untuk hapus stigma, peduli sesama, dan sayangi jiwa.
Dengan cinta dan cahaya untuk kita semua,
Sayna
Task Force Suicide Postvention
Into the Light Indonesia
2018
Referensi
[1] American Association of Suicidology. www.suicidology.org.
[2] Berman, AL. Estimating the population of survivors of suicide: seeking an evidence base. Suicide & Life Threatening Behavior. 2011 (1): 110 – 116
[3] IT Young, Alana I, Danielle G, Nicole L, Kathryn S, Manjusha I, et al. Suicide bereavement and complicated grief. Dialogues Clin Neurosci. 2012; 14: 177-186.
[4] American Foundation for Suicide Prevention. www.afsp.org.
[5] AL Pitman, David PJB, Khadija, Michael BK. The stigma perceived by people bereaved by suicide and other sudden deaths: A cross-sectional UK study of 3432 bereaved adults. Journal of Psychosomatic Research. 2016; 87: 22–29