Menilik Prevalensi Gejala Depresi di Indonesia

Depresi merupakan gangguan kesehatan jiwa yang menjadi beban kesehatan terbesar di dunia. Depresi menjadi penyebab disabilitas terbesar di seluruh penjuru dunia serta menyumbang beban ekonomi yang besar bagi negara[1,2].

Beban kesehatan yang dibawa oleh depresi menjadikan depresi isu kesehatan masyarakat yang penting bagi Indonesia sebagai negara berkembang karena dapat menghalangi pertumbuhan negara. Mengetahui prevalensi depresi di Indonesia menjadi penting untuk memahami kebutuhan masyarakat akan pelayanan kesehatan serta penyusunan kebijakan.

Sebelum tahun 2018, belum ada survei yang memaparkan prevalensi depresi nasional di Indonesia. Namun, penelitian sebelumnya melaporkan prevalensi depresi sebesar 15% pada perempuan usia dewasa dan 24,4% untuk mahasiswa di Jakarta[3,4]. Prevalensi tersebut jauh melebihi prevalensi depresi nasional di negara tetangga seperti Tiongkok, Korea, Nepal, dan Vietnam[5,6,7,8,9]. Tingginya prevalensi depresi pada dua kelompok masyarakat Indonesia yang diteliti sebelumnya dibandingkan negara tetangga tentunya memicu keprihatinan dan rasa ingin tahu mengenai prevalensi depresi nasional Indonesia.

Penelitian Terkini Mengenai Prevalensi Depresi di Indonesia

Baru-baru ini, Karl Peltzer, peneliti dari University of Limpopo, Afrika Selatan, dan Supa Pengpid, peneliti dari Mahidol University, Thailand, melakukan penelitian mengenai prevalensi depresi di Indonesia yang berskala nasional[10]. Mereka menelaah data yang didapatkan dari Survei Kehidupan Keluarga Indonesia tahap kelima (Indonesian Family Life Survey fifth wave [IFLS-5]) yang telah dilakukan sejak tahun 1993[10]. Survei ini dilakukan dengan memilih masyarakat Indonesia secara acak dari berbagai provinsi, area tempat tinggal (perkotaan dan pedesaan), serta rumah tangga. Partisipan dalam survei ini mewakili 83% dari masyarakat Indonesia, dengan melibatkan 16.204 rumah tangga[10]. Sebanyak 31.447 masyarakat Indonesia berusia 15 tahun ke atas menjadi partisipan dalam penelitian ini.

Partisipan survei ini kemudian diminta untuk mengisi angket penelitian. Angket penelitian terdiri dari sebuah alat ukur depresi, angket yang menanyai kondisi sosial dan demografi, serta angket yang menanyai kondisi kehidupan dan kesehatan. Alat ukur depresi yang digunakan dalam penelitian ini adalah Centers for Epidemiologic Studies Depression Scale (CES-D 10)[11].

Prevalensi Depresi di Indonesia

Peltzer dan Pengpid menemukan bahwa 21,8% orang yang disurvei melaporkan gejala depresi sedang atau berat[10]. Dari prevalensi tersebut, perempuan memiliki tingkat gejala depresi yang lebih tinggi dibandingkan laki-laki, meskipun perbedaan ini tidak signifikan[10]. Dari keseluruhan orang yang disurvei, 21,4% laki-laki dan 22,3% perempuan melaporkan gejala depresi sedang atau berat.

Pada perempuan yang disurvei, kelompok remaja (15-19 tahun) menunjukkan prevalensi gejala depresi tertinggi dibandingkan kelompok usia lain[10]. Sebanyak 32% dari remaja perempuan yang disurvei melaporkan gejala depresi sedang atau berat[10]. Sementara itu, pada laki-laki yang disurvei, laki-laki berusia 20-29 tahun menunjukkan prevalensi gejala depresi sedang atau berat tertinggi (29%) disusul remaja laki-laki (26,6%) dibanding kelompok usia lain[10].

Peltzer dan Pengpid menemukan bahwa prevalensi gejala depresi sedang atau berat cenderung menurun seiring pertambahan usia[10]. Selain itu, tingkat pendidikan juga tampak berkaitan dengan prevalensi gejala depresi. Orang-orang yang disurvei yang tidak mengenyam pendidikan dan mengenyam pendidikan tinggi (sarjana muda atau lebih tinggi) cenderung memiliki prevalensi gejala depresi sedang atau berat yang lebih rendah dibandingkan dengan orang-orang dengan tingkat pendidikan lain[10].

Faktor-Faktor yang Berkaitan dengan Depresi di Indonesia

Peltzer dan Pengpid menemukan faktor-faktor yang terkait dengan tingkat gejala depresi pada orang-orang Indonesia yang disurvei. Orang-orang dengan usia lebih muda cenderung menunjukkan tingkat gejala depresi sedang atau berat[10]. Selain itu, orang-orang yang tinggal di Jawa atau pulau besar lain menunjukkan tingkat gejala depresi sedang atau berat[10].

Kondisi sosioekonomi juga berkaitan dengan tingkat gejala depresi. Orang-orang yang merasa ia termasuk kelompok masyarakat miskin dan menganggur atau sedang mencari pekerjaan cenderung menunjukkan tingkat gejala depresi sedang atau berat[10]. Orang-orang yang mengalami bencana dalam 5 tahun terakhir, baik bencana alam maupun gejolak sosial, dan merasa lingkungan tempat tinggalnya tidak aman juga cenderung menunjukkan tingkat gejala depresi sedang atau berat[10]. Selain itu, orang-orang yang kurang religius juga menunjukkan tingkat gejala depresi sedang atau berat[10].

Kondisi kesehatan orang-orang yang disurvei juga berkaitan dengan gejala depresi. Orang-orang yang merasa ketika kanak-kanak mereka memiliki kondisi kesehatan yang buruk dan saat ini memiliki satu atau lebih permasalahan kesehatan kronis (misalnya diabetes, asma, tumor, rematik, hipertensi, dan sebagainya) cenderung menunjukkan gejala depresi sedang atau berat[10]. Selain itu, orang-orang yang mengonsumsi tembakau (merokok atau menginang) dan mengonsumsi minuman ringan bersoda juga cenderung melaporkan gejala depresi sedang dan berat[10].

Pada kelompok laki-laki yang disurvei, laki-laki yang telah pensiun, sedang sakit atau mengalami disabilitas, sering mabuk atau mengonsumsi narkoba, serta memiliki orang tua dengan masalah kesehatan jiwa ketika ia berusia 12 tahun cenderung melaporkan gejala depresi sedang atau berat[10]. Sementara itu, pada kelompok perempuan yang disurvei, perempuan yang baru saja berhenti mengonsumsi tembakau dan jarang beraktivitas fisik melaporkan gejala depresi sedang atau berat[10].

Simpulan

Hasil penelitian Peltzer dan Pengpid menunjukkan tingginya prevalensi gejala depresi pada masyarakat Indonesia (21,8%), bahkan lebih tinggi dibandingkan dengan negara tetangga maupun prevalensi depresi global yang berkisar 12,1% yang diukur dengan alat ukur serupa[10,12,13]. Hal ini menunjukkan penting dan gentingnya pencegahan dan penanggulangan depresi pada masyarakat Indonesia. Prevalensi gejala depresi sedang atau berat yang tinggi pada kelompok remaja juga menimbulkan keprihatinan. Peltzer dan Pengpid mengungkapkan pentingnya pencegahan depresi pada kelompok remaja di Indonesia[10].

Hasil penelitian Peltzer dan Pengpid menyatakan pentingnya peningkatan kesehatan masyarakat, seperti menanggulangi kelaparan masa kanak-kanak, menurunkan tingkat konsumsi tembakau, meningkatkan aktivitas fisik, konsumsi makanan sehat termasuk sayuran dan buah, serta mengurangi konsumsi minuman ringan bersoda[10]. Selain itu, peningkatan pelayanan kesehatan, baik fisik maupun jiwa juga penting untuk dilakukan. Hal ini dikarenakan, isu kesehatan tersebut berkaitan dengan tingkat gejala depresi sedang dan berat pada orang-orang Indonesia yang disurvei.

Pemerataan ekonomi dan peningkatan jumlah lapangan kerja dapat mencegah tingkat depresi yang lebih tinggi. Hal ini dikarenakan orang-orang yang disurvei yang menilai dirinya kelompok miskin dan sedang menganggur atau mencari pekerjaan cenderung melaporkan gejala depresi yang sedang atau berat[10].

Selain itu, penanganan psikososial pada korban bencana penting dilakukan untuk mencegah keparahan depresi. Hal ini didasari atas hasil penelitian yang menyatakan bahwa pengalaman bencana dan merasa lingkungan tidak aman berkaitan dengan gejala depresi sedang dan berat.

Namun, penelitian Peltzer dan Pengpid memiliki beberapa keterbatasan. Penelitian ini menemukan faktor-faktor yang berkaitan dengan prevalensi depresi pada masyarakat Indonesia. Kaitan ini tidak menyatakan hubungan sebab-akibat, sehingga hasil penelitian tidak dapat diartikan bahwa faktor-faktor tersebut menyebabkan tingginya prevalensi depresi di Indonesia. Meskipun demikian, kondisi kesehatan fisik dan jiwa tetap menjadi perhatian yang penting. Hal ini dikarenakan prevalensi gejala depresi di masyarakat dapat meningkat seiring dengan banyaknya faktor fisik dan sosial yang tidak sehat.

Keterbatasan lain dalam penelitian Peltzer dan Pengpid terletak pada alat ukur dalam penelitian ini. CES-D-10 yang digunakan dalam survei belum diteliti secara lebih lanjut untuk menentukan sensitivitasnya dalam mengukur tingkat depresi. Hal ini memungkinkan adanya diagnosis gejala depresi yang berlebihan atau terlalu tinggi tingkatnya pada orang-orang yang disurvei daripada kondisi mereka sebenarnya[10].

Penelitian Peltzer dan Pengpid memberikan informasi berharga bagi kita yang bergerak di bidang kesehatan jiwa masyarakat. Informasi dari penelitian ini tentunya dapat bermanfaat untuk menyusun kebijakan publik dan penanganan kesehatan masyarakat yang memadai bagi Indonesia. Pencegahan dan penanganan depresi dapat mengurangi beban negara. Dengan demikian, diharapkan bangsa Indonesia dapat bertumbuh secara lebih optimal.

Glosarium

pre.va.len.si /prévalènsi/

  1. n hal yang umum; kelaziman
  2. n Dok jumlah keseluruhan kasus penyakit yang terjadi pada suatu waktu tertentu di suatu wilayah

Referensi

[1] World Health Organization. (2017). Depression and other common mental disorders: Global health estimates. Geneva: World Health Organization.

[2] Evans-Lacko, S., & Knapp, M. (2016). Global patterns of workforce productivity for people with depression: Absenteeism and presenteeism costs across eight diverse countries. Social Psychiatry and Psychiatric Epidemiology, 51(11), 1525-1537. doi: 10.1007/s00127-016-1278-4.

[3] Christiani, Y., Byles, J., Tavener, M., &Dugdale, P. (2015). Socioeconomic related inequality in depression among young and middle-adult women in Indonesia’s major cities. Journal of Affective Disorders, 182, 76-81.

[4] Peltzer, K., & Pengpid, S. (2015). Depressive symptoms and social demographic, stress andhealth risk behaviour among university students in 26 low-, middle- and high-income countries. International Journal of Psychiatry in Clinical Practice, 19, 259–265.

[5] Chen, Y. Bennet, D., Clarke, R., Guo, Y., Yu, C., Bian, Z., … Chen, Z. (2017). Patterns and correlates of major depression in Chinese adults: a cross-sectional study of 0.5 million men and women. Psychological Medicine, 47, 968-970.

[6] Oh, D. H., Kim, S. A., Lee, H. Y., Seo, J. Y., Choi, B. Y., & Nam, J. H. (2013). Prevalence and correlates of depressive symptoms in Korean adults: results of a 2009 Korean community health survey. Journal of Korean Medical Science, 28, 128-135.

[7] Shin, C., Kim, Y., Park, S., Yoon, S., Ko, Y.H., Kim, Y.K., … Han, C.(2017). Prevalence and associated factors of depression in general population of Korea: results from the Korea National Health and Nutrition Examination Survey. Journal of Korean Medical Science, 32, 1861–1869.

[8] Risal, A., Manandhar, K., Linde, M., Steiner, T. J., & Holen, A. (2016). Anxiety and depression in Nepal: prevalence, comorbidity and associations. BMC Psychiatry, 16, 102. dDoi: 10.1186/s12888-016-0810-0.

[9] Vuong, D. A., Van Ginneken, E., Morris, J., Ha, S. T., & Busse, R. (2011). Mental health in Vietnam: ental health in Vietnam: burden of disease and availability of services. Asian Journal of Psychiatry, 4, 65–70.

[10] Peltzer, K.,& Pengpid, S.(2018). High prevalence of depressive symptoms in a national sample of adults in Indonesia: childhood adversity, sociodemographic factors and health risk behaviour. Asian Journal of Psychiatry, 33, 52-59. doi: 10.1016/j.ajp.2018.03.017.

[11] Andresen, E. M., Malmgren, J. A., Carter, W. B., & Patrick, D. L. (1994). Screening for depression in well older adults: evaluation of short form of the CES-D (Center for Epidemiologic Studies Depression Scale). American Journal of Preventive Medicine, 10, 77-84.

[12] Ferrari, A. J., Charlson, F. J., Norman, R. E., Patten, S. B., Freedman, G., … Murray, C. J. (2013a). Burden of depressive disorders by country, sex, age, and year: findings from the global burden of disease study 2010. PLoS Medicine. Advance online publication. doi: 10.1371/journal.pmed.1001547..

[13] Ferrari, A. J., Somerville, A. J., Baxter, A. J., Norman, R., Patten, S. B., Vos, T., & Whitford, H. A.(2013b). Global variation in the prevalence and incidence of major depressive disorder: a systematic review of the epidemiological literature. Psychological Medicine, 343, 471-481.

Dicky Sugianto
Dicky Sugianto
Dicky Sugianto adalah komunikator, peneliti, dan praktisi ilmu psikologi. Ia memiliki keprihatinan pada isu kesehatan mental, seperti depresi, perilaku bunuh diri, kedukaan, serta kondisi psikologis kelompok yang dikenai stigma. Saat ini, ia sedang mempelajari bagaimana seseorang dapat memiliki kehidupan yang layak untuk dihidupi melalui welas asih.