Artikel ini aslinya ditayangkan di Remotivi.or.id, ditulis oleh Benny Prawira Siauw.
Pemberitaan bunuh diri di Indonesia masih berada dalam tahap yang sangat memprihatinkan. Kematian bunuh diri, yang masih dipenuhi stigma oleh masyarakat, seringkali ditampilkan seperti rentetan drama. Contoh paling jelas baru-baru ini adalah kasus kematian bunuh diri EPA, seorang siswi SMP di Blitar. Alih-alih memberikan informasi dan pengetahuan yang akurat mengenai bunuh diri dengan cara yang sehat, berbagai media berfokus pada asumsi dan metode bunuh diri serta ranah pribadi kehidupan EPA.
Dalam pemberitaan bunuh diri EPA, terdapat banyak berita yang menjabarkan metode dan asumsi penyebab tunggal bunuh diri di tajuk berita daring, misalnya dalam artikel Jatim Times, serta artikel Tribunnews ini dan ini. Kanal berita daring juga banyak menjelaskan detail kronologis dan informasi pribadi terkait bunuh dirinya, dipenuhi dengan asumsi tunggal yang ditanyakan dari orang sekitar, ditambah dengan dramatisasi tanpa memperhatikan privasi yang bahkan sudah diminta di dalam surat wasiat bunuh diri korban.
Pemberitaan bunuh diri juga sering dibungkus dalam narasi sensasional. Hal ini dapat dilihat dalam berita kematian bunuh diri selebritas. Salah satu contoh yang paling jelas adalah munculnya pemberitaan berdasarkan rumor di media sosial terkait percobaan bunuh diri tiruan dari fans setelah kematian Jong Hyun bulan Desember lalu. Tanpa adanya bukti yang cukup mengenai kejadian ini, media bersangkutan melaporkannya tanpa mempertimbangkan dampaknya pada komunitas penggemar yang sedang berduka.
Klik di sini untuk baca selengkapnya.