Sekalipun itu apartemennya sendiri, ia selalu membuka pintu dengan lapang dan berhenti sejenak untuk memastikan tidak ada sesuatu yang akan mengejutkannya. Malam itu tampaknya normal. Udara dingin berhembus perlahan dan suaminya menyambut dengan senyuman. Ketika melepaskan sepatu hak ia masih sempat mencuri pandang ke jam tangan. Pukul setengah delapan hari Selasa ada acara debat hukum yang selalu ditonton oleh suaminya tapi televisi sedang tidak menyala.
Di meja sofa awalnya ada kantung plastik. Kini sang suami berdiri seraya mengangkatnya. Warna putih memudar, cetakan warna merah menerobos dari dalam. Laki-laki itu berkata: “Aku tadi mampir ke Lotte. Sarden kalengan lagi didiskon. Aku beli lima.”
“Buat apa begitu banyak?”
“Ah, ini kan sering kita makan. Malam ini, mau kubuatkan spageti ikan sarden andalanku?”
“Tidak perlu. Kita pesan nasi goreng saja di bawah.”
“Kalau itu maumu, ya sudah. Tapi kamu tidak bosan apa makan yang sama berminggu-minggu? Aku bosan. Kita perlu coba yang lain. Bagaimana?”
“Terserah kau kalau begitu. Aku capek,” kata istrinya seraya berjalan ke arah kamar mandi yang berhadapan langsung dengan pintu utama. Di sebelah kanan kondominium itu terdapat kamar tidur kecil yang dialihfungsikan menjadi gudang untuk menampung album-album foto yang rajin diisi pria itu ketika masih jadi fotografer.
“Ada masalah di kantor?”
“Enggak.”
“Serius? Sudah lama kamu enggak cerita – kupikir ada masalah di kantormu.”
“Kau yakin sumber masalahku ada di kantor? Bukan dari sini?”
Lalu terdengar bunyi pesawat terbang dari atas. Apartemen mereka berada di pinggir kota dekat bandara. Apabila tidak ada sumber kebisingan lain, mereka yang ada di lantai lima belas bisa merasakan kehadiran burung-burung besi dan menaksir trayeknya dari balkon.
“Oh, aku gak tahu,” pria itu berkata. “Kau mau cerita?”
“Lupain saja.”
“Ayolah.”
“Tidak,” tegas perempuan itu. “Seolah-olah hanya aku di rumah ini yang punya masalah.”
“Aku tidak punya masalah.”
“Orang tidak akan melakukan itu kalau tidak punya masalah.”
“Kenapa akhir-akhir ini kita selalu membicarakan hal itu?”
“Karena masalah itu tidak pernah selesai.”
“Aku sudah minta maaf. Aku sudah minta maaf! Kalau kita selalu kembali kepada yang sudah berlalu, bagaimana kita mau maju?”
“Yah, terserah kamu saja,” perempuan itu melanjutkan geraknya.
“Jadi kau mau makan apa?”
“Terserah kamu saja,” seru istrinya.
Sementara perempuan itu mengunci pintu kamar mandi, sang suami mengaduk almari dapur. Ia bertanya kepada istrinya di mana pembuka kaleng. Istrinya menyahut singkat bahwa ia tidak tahu, lalu mempertanyakan: apakah mereka memang punya pembuka kaleng. Sang suami sempat mencari ke tempat-tempat yang sebelumnya sudah dicari sebelum tangan kanannya meraih pisau besar dan menusukkan ujungnya di sisi kaleng. Bau tomat sedikit amis menguar.
Di dapur, secara bergiliran, suara-suara berikut bergulir: ceklek kenop kompor, debur air jatuh ke panci, dentingan tangkai spageti pada logam, gumam ‘kali ini tidak kematangan’, birama ketukan jemari, letupan gelembung-gelembung air, titisan air dari pasta al dente, desis kuah sarden, kerincing lada dan garam, gongseng spatula, pergeseran roda laci, ketukan piring pada meja marmer, dan sahutan ‘ayo makan’.
Istrinya tidak kunjung keluar dari kamar mandi padahal satu-satunya yang kurang dari suara yang sudah didaftarkan di atas adalah pancuran air atau siraman kloset. Pesawat melintas lagi, kali ini terdengar lebih kolosal dari yang sebelumnya. Pria itu terpaku pada desing yang familier itu dan tidak menyadari ketika gagang pintu bergetar. Istrinya keluar dan meninggalkan jejak-jejak basah telapak kaki di keramik putih.
Mereka duduk dan makan. Sang suami bertanya, “Bagaimana?”
Istrinya hanya mengangguk dan melanjutkan makan. Jamuan makan malam terpaksa berhenti ketika handphone sang istri yang sejak ia pulang tergeletak di meja makan berbunyi. Tulisan ‘Mama’ terpampang. Pria itu mendelik heran ketika sang istri menekan tombol ‘Accept’ dan ‘Loudspeaker’.
“Ya, Ma.”
“Kak, kan tanggal tiga puluh nanti ulang tahun perkawinan Mama dan Papa yang ketiga puluh empat. Om Nanang bolehin Mama untuk bikin pesta di rumah.”
“Pesan makanan atau masak sendiri?”
“Masak. Kamu bisa bantuin masak dan rapi-rapi?”
“Tanggal tiga puluhnya? Bisa. Atau sebelum itu?”
“Tanggal tiga puluhnya. Pagi-pagi. Suamimu bisa ikut juga kan?”
Pria di depannya menggelengkan kepala ketika istrinya berkata, “Bisa, Ma. Itu kan hari Sabtu.”
“Baguslah. Gimana kondisinya?”
“Lagi gak banyak order desain, Ma. Tapi baik-baik aja, kayaknya.”
Suara di seberang berubah pelan: “Gak aneh-aneh kan?”
“Gak, Ma. Dia ada. Mama mau ngomong sama dia? Bentar ya.”
Menunggu sepuluh detik suaminya berkata, “Ya, Ma. Apa kabar?”
“Ini, tanggal tiga puluh kan ulang tahun perkawinan Mama. Kamu datang ya. Mama mau masak nasi kuning. Om Nanang bilang mau beli bir kalau kamu datang.”
“Aku lihat jadwal dulu ya.” Pria itu memandang istrinya. “Tapi kayaknya sih gak ada halangan.”
“Begitu dong. Om Nanang suka banget loh dengerin ceritamu motret di lapangan bola. Dia suka nanya kondisimu juga.”
“Haha, iya, kadang-kadang juga chatting.”
“Udah dulu ya Ma. Mau makan,” sela sang istri.
Mereka melanjutkan makan. Mereka berdua melihat sekarang sudah jam sembilan.
“Kenapa? Malas ya pergi ke sana?”
“Aku jamin mamamu pasti nangis lalu situasi akan jadi canggung.”
“Betul dia akan menangis, tapi di akhir dia juga akan mengucapkan terima kasih pada Om Nanang. Jadi, kupikir enggak akan ada masalah.”
“Pada satu sisi, aku kagum pada ibumu. Dia bisa mengatasi kesedihan setelah ayahmu pergi dan menemukan orang baru. Di usia yang sedemikian tua.”
“Bukannya itu justru biasa saja, ketika kita bersedih kita mencari cara lain untuk membuat kita senang.” Sang istri melanjutkan, “Mama menemukan Om Nanang.”
“Ya. Aku kagum pada orang-orang biasa.”
Pria itu menghabiskan makanan di piringnya. Masih ada sisa spageti di wajan tapi ia tidak menawarkan lagi ke istrinya. Ia memindahkan sisa makanan ke Tupperware warna merah dan mengirim makanan itu untuk mendingin di kulkas.
Akhirnya televisi dinyalakan. Sang suami menyetel acara debat hukum yang pada malam itu mengangkat tema lama tapi tinggal menunggu waktu untuk muncul kembali: perseteruan antara polisi dan KPK. Polisi ingin ‘membantu’ KPK dalam menyidik kasus korupsi sementara KPK merasa mampu bekerja sendiri. Di layar, seorang perwira kepolisian sedang berdebat dengan juru bicara KPK. Pria itu menonton dengan tenang.
Di belakang, air mengucur dan membilas sisa-sisa minyak dan saos tomat. Tidak seperti pasangannya, sang istri selalu mengenakan sarung tangan karet ketika mencuci.
“Ada profesor favoritmu.”
“Yang dari UI itu? Mendukung siapa dia?”
“KPK, tampaknya. Semua orang yang tidak mau dibenci akan mendukung KPK.”
“Semua orang waras akan mendukung KPK!”
Tak lama semua piring sudah rapi dijejerkan. Istrinya melepaskan sarung tangan dan menggantungkannya pada sudut wastafel. Ia masuk lagi ke kamar mandi dan kali ini air pancuran dinyalakan. Baru lewat satu kali kesempatan iklan, sang istri sudah keluar lagi dengan baju kaos ungu dan handuk biru muda di lehernya.
“Aku tidur duluan,” kata istrinya. “Besok perlu pergi jam lima.”
“Ada apa?”
“Pekerjaan.”
Suaminya mematikan suara televisi, orang-orang di dalamnya tetap bergerak. “Ada masalah di kantormu?”
“Kenapa kamu selalu bertanya seperti itu? Seakan-akan setiap perubahan rutinitas di kantorku pasti berarti masalah.”
“Karena kau tidak menjawab.” Sang suami berdiri. Tangan kirinya yang semula setia menggenggam remote televisi mengendurkan cengkraman hingga benda itu jatuh ke sofa.
“Kamu pun tidak pernah meninggalkan surat!”
“Surat?”
“Surat seandainya waktu itu kamu tidak kembali. Kamu pikir aku tidak mengeceknya? Malam itu, setelah Mama datang, aku sempat pulang – ke apartemen yang dulu – berusaha mencari pesan. Aku mencari di meja, selipan seprai, laci-laci. Semua kantong baju dan celana. Nihil.”
“Aku tidak ingin membuatmu sedih.”
“Jadi kau lebih memilih membuatku bingung? Biar aku mengira-ngira sendiri apa kesalahanku?”
“Dengar. Duduk dulu.”
“Aku tidak mau duduk.”
Sang suami menghampirinya dan menawarkan tangan kirinya ke tangan kanan perempuan itu yang menolaknya. “Kamu tidak memiliki kesalahan. Semua kesalahan ini ada di aku. Di aku.”
“Kau tidak bahagia.”
“Aku bahagia, denganmu. Tapi kamu tidak mengerti. Aku tidak bisa seperti orang lain. Pada saat aku berbahagia, aku sekaligus membayangkan kondisi di mana aku akan tidak bahagia. Lalu aku membayangkan bagaimana aku yang tidak bahagia di masa depan akan melihat aku yang berbahagia di masa kini dan merasakan semuanya begitu berjarak. Dan, tiba-tiba, aku-tidak-bahagia menggantikan posisi aku-bahagia sehingga sekalipun saat ini, seharusnya, aku adalah aku-bahagia, aku juga sekaligus adalah aku-tidak-bahagia.”
“Aku tidak mengerti.”
“Semuanya pasti berubah! Kau mungkin bertemu dengan orang lain; banyak yang tentunya lebih pantas daripada aku.”
“Itu tidak benar,” sela istrinya.
“Bagaimana kalau aku dapat pekerjaan dan dipecat lagi? Atau kita terlilit hutang sehingga apartemen ini terpaksa kita jual? Semuanya mungkin terjadi.”
“Melakukan itu tidak akan membuat kegembiraan kekal, malah sebaliknya…”
“Ya! Namun saat itu aku begitu lelah dengan semua kebahagian palsu ini, yang lemah dan selalu bergantung pada orang lain. Di sana, mungkin ada kebahagiaan murni, kebahagiaan bebas.”
“Kebahagiaan tanpa manusia lain?”
“Kebahagiaan tanpa tergantung oleh hal-hal lainnya,” pria itu mengoreksi.“Tempat di mana aku tidak akan terganggu dengan kekhawatiran, tempat di mana aku bisa yakin pada diriku sendiri, tempat yang kupikir… yang kupikir… bisa menolongku.”
“Oh, Adrian.”
Pria itu mencubit pangkal hidungnya kencang-kencang hingga kedua matanya terpejam. Tangan kirinya yang agak gemetar mencoba bertopang di pinggang. Ada suara pesawat lagi yang begitu mencekam hingga mereka memilih bungkam.
“Tapi ada sesuatu yang perlu kamu tahu.”
“Apa?” tanya perempuan itu.
“Ketika aku sekarat dan terbaring tanpa daya, aku masih ditinggalkannya oleh satu buah perasaan.”
“Perasaan apa?”
“Bersalah. Tapi bersalah pada siapa atau apa, aku sungguh tidak tahu. Padamu – mungkin – karena aku merasa paling dekat denganmu. Tapi seharusnya bukan kepada siapa-siapa, sebab, apa yang kulakukan – menurut pandanganku saat itu – adalah satu-satunya aksi yang tidak egois. Aku melakukan ini demi kebaikanku bersama. Ini paradoksnya: bagaimana kau bisa bebas kalau kau masih terikat dengan perasaan bersalah? Aku takut apa yang akan kutemui di sana cuma pilinan rasa bersalah yang tidak akan mampu kujelaskan alasannya.”
Perempuan itu merasa perlu untuk menyentuh suaminya. Sementara matanya terpejam, tangannya menyusuri punggung, naik ke leher dan sampai ke kepala. Ia terkejut ketika merasa bahwa orang yang disusun berdasarkan perabaannya sama sekali tidak mirip dengan gambar yang direkam di ingatannya. Perlahan-lahan, ia membawa pelukannya ke kamar tidur.
Hanya satu di antara kedua orang itu yang kesulitan tidur pada malam itu. Orang yang tidak tidur itulah yang keluar dari kamar pada jam empat subuh dan menemukan bahwa televisi belum dimatikan. Ketika ia mematikan televisi itu, ia merasakan bahwa dengung perangkat elektronik yang lesap melengkapi keheningan yang sudah disusun oleh absennya suara klakson kendaraan di bawah, deru pesawat lalu-lalang di atas, dan percakapan manusia di tengah-tengahnya. Ia sadar bahwa ide apapun bisa lahir dari keheningan semacam ini.