“Memangnya Tuhan bisa membuatmu waras? Kamu itu sudah gila, sudah sinting, tidak bisa diobati! Mending sekalian mati saja sana!”
“Ibu sayang padamu, tapi Ibu letih mengurusmu.”
Gigiku terus bergemeletuk ketika suara-suara itu berteriak-teriak di kepalaku. Kedua tanganku menggenggam dua benda yang berbeda.
Pisau di tangan kanan dan tasbih di tangan kiri.
Kepalaku sebentar lagi meledak jika suara-suara itu tak mau berhenti meracau.
“Tolong…aku tidak tahan…” Kini aku yang meracau. “Ibu tidak mau saya, Bapak bilang mati saja, mereka bilang saya gila.”
Aku sudah kehabisan kata-kata untuk mengeluh kepada Tuhan, apalagi mengeluh kepada makhluk-Nya. Bukan salahku karena tidak bisa hidup normal seperti manusia pada umumnya. Bukan salahku Bapak dan Ibu malu karena punya anak tidak waras.
Aku pernah waras, aku pernah bahagia dan aku pernah buat orang tuaku bangga. Namun ketika kemalangan menimpa batin, semua kebahagiaan yang pernah kusinggahkan di hati mereka, hilang begitu saja. Seakan mereka tahu aku tidak pernah menjadi normal sejak sperma Bapak diterima oleh sel telur Ibu.
Tuhan adalah satu-satunya harapanku untuk membaik, namun belum juga turun keajaiban dari surga sana. Akibatnya, aku jadi sedikit setuju dengan suara-suara dalam kepala ini. Mungkin Tuhan tidak bisa mengembalikkan kesadaranku. Mungkin doa ‘orang gila’ tidak akan didengar.
Keji kedengarannya, tapi kau tidak pernah ‘menjadi gila’ hingga tidak tahu betapa terkucilnya aku saat ini.
Ibu hanya datang seminggu sekali untuk memandikanku di gubuk reyot ini. Gubuk yang mereka buat lima tahun lalu setelah aku berlari-lari kesetanan dan melepas pakaian di depan rumah kepala desa. Kalau diingat-ingat, kejadian itu lucu sebenarnya. Mereka berbisik di kepalaku dan bilang sebaiknya buka baju sembarangan. Mana kuingat kalau itu rumah Pak Kades, hihi.
Banyak warga mengerumuni, nyaris membunuhku dengan sumpah serapah dan pukulan di sana sini. Terutama ibu-ibu alim yang meneriaki Ibu dan Bapak. Ada beberapa warga yang melindungi dan langsung menyelimutiku dengan kain tebal. Kami berlari menuju rumah ketika hujan perlahan turun membasahi tubuhku. Beberapa kali telapak kakiku menginjak batu dan tahi ayam. Sakitnya sungguh luar biasa namun pada saat itu juga aku sadar bahwa aku tak lagi waras dan kehidupan ku yang dulu mulai terhapus dari kepalaku.
Sebilah pisau dan tasbih masih kugenggam erat. Pasung di kaki kiri ini semakin hari semakin membelenggu seluruh hidupku. Mereka takut aku akan berlarian tanpa baju lagi. Mereka takut aku akan menyakiti anak-anak mereka. Bukankah lebih baik aku diusir saja dari pada dibelenggu?
Genggaman tanganku semakin erat. Buku-buku jari memutih nyaris memutuskan benang tasbih yang diberikan Ibu sesaat setelah memasungku.
“Ibu sayang padamu, tapi Ibu letih mengurusmu! Mungkin Tuhan bisa bantu kamu.”
Beberapa kali aku mendengar langkah kaki di depan gubuk. Mungkin anak-anak kecil yang sedang uji nyali, apakah salah satu di antara mereka berani menghadapi si mba ‘gila’ yang diguna-guna istri pacarnya.
Kulihat pisau di tangan kanan. Apakah cukup tajam untuk membuatku terluka? Aku tidak pernah mencobanya karena takut ia akan menyakitiku atau membuat Ibu marah. Tapi, bukannya Bapak ingin aku paling tidak mencobanya?
Bapak datang ke sini beberapa waktu lalu. Di luar gelap dan dingin, Bapak membiarkan pintunya terbuka. Mungkin Beliau takut diserang oleh ‘anak gilanya’ sendiri.
Bapak melemparkan sebilah pisau dapur ini ke arah kursi di samping tempatku tidur. Tak sedikitpun matanya melihat ke arahku, tapi ia terus meneriakkan makian yang membuat kepalaku serasa mau meledak. Kemudian Ia melihatku menggenggam tasbih dari Ibu. Ia hanya tertawa.
“Memangnya Tuhan bisa membuatmu waras? Kamu itu sudah gila, sudah sinting, tidak bisa diobati! Mending sekalian mati saja sana!”
Bapak membanting pintu, nyaris membuat gubuk reyot ini rubuh. Sejak saat itu aku selalu dibayang-bayangi oleh dua pilihan yang tidak pernah bisa kuputuskan. Mati atau menunggu Tuhan mewaraskanku.
Aku tidak pernah tahu bagaimana keadaan di luar sana. Hujan, terik, panas, dingin, semuanya terasa sama di dalam sini. Sesekali aku bersenandung untuk menenangkan diri ketika dinginnya malam merayapi badan, membuat pikiranku semakin kalut dengan ketakutan.
Andai aku bisa berbicara dengan seseorang tanpa harus diludahi, dimaki atau ditertawakan. Aku rindu bisa berbincang dengan teman-temanku dulu walau aku sudah tak ingat siapa nama mereka. Kadang aku bertanya-tanya, kenapa mereka tak datang menemuiku? Aku tidak waras, tapi jika mereka mau memahami, aku bisa berbicara dengan baik. Mungkin aku hanya butuh teman untuk bersandar. Mungkin belenggu dan ruangan sempit ini yang membuat kewarasanku semakin sulit ditemukan.
Tuhan…, sekali lagi aku memohon…
“Memangnya Tuhan bisa membuatmu waras? Kamu itu sudah gila, sudah sinting, tidak bisa diobati! Mending sekalian mati saja sana!”
“Ibu sayang padamu, tapi Ibu letih mengurusmu.”
Mereka datang lagi. Selalu mampir tanpa permisi. Apa aku benar-benar sudah tidak pantas untuk waras?
Pintu terbuka perlahan dan di sana berdiri seorang wanita paruh baya dengan kaca mata, tersenyum tulus kepadaku. Kupikir itu Ibu, namun senyum Ibu tak lagi tulus seperti itu sejak bertahun lalu. Aku merasa ketakutan, apa orang ini akan menertawaiku seperti yang lainnya?
“Halo Nala, saya Ibu Anya dan ingin ngobrol-ngobrol dengan kamu. Apakah kamu kedinginan? Mau minum teh manis hangat?”
“Saya habis berbicara dengan Ibu dan Bapakmu dan saya di sini mau membantumu sehat lagi. Saya tidak akan mengganggumu kalau kamu tidak mau, tapi biarkan saya coba membantu ya? Kalau setelah saya bantu kamu tidak suka, saya akan pergi.”
Aku bungkam. Masih sangat takut menerima keberadaan orang asing di gubuk sempit ini. Dia bilang mau membantuku, apa maksudnya?
“Tidak seharusnya kamu dikurung dan dirantai seperti ini, karena kamu manusia sama seperti saya, seperti Ibu dan Bapakmu. Sama seperti orang-orang di desa ini, hanya saja sedikit lebih membutuhkan bantuan untuk kembali beraktivitas.”
Ibu ramah ini terus meracau. Lucunya aku tak keberatan dengan racauannya. Aku sama sekali tidak menutup kupingku. Aku tidak berteriak ketakutan seperti ketika orang-orang itu mengekangku dan menyembur-nyembur wajahku dengan air doa.
Sayangnya, aku masih bungkam. Mungkin belenggu membuatku lupa caranya berbicara. Kapan terakhir aku berbicara?
“Boleh saya duduk di sampingmu?”
Aku mengangguk perlahan. Berharap ada sepatah kata yang bisa keluar dari kerongkongan.
Ibu itu menaruh gelas di hadapanku dan duduk tanpa merasa takut sedikit pun. “Saya datang dari Jakarta dan sudah sering membantu orang untuk menjalani hidupnya kembali dengan baik. Seseorang dari desa ini melapor bahwa kamu diperlakukan kurang baik oleh keluargamu, makanya saya berusaha sekeras mungkin untuk datang ke sini.”
“Butuh waktu lama dan usaha yang luar biasa sampai akhirnya orang tuamu mengizinkan saya duduk di sini bersamamu. Saya tahu kamu merasa kesepian bertahun-tahun di sini.”
Beliau melirik ke arah pisau di tangan kanan yang masih kugenggam dengan erat.
“Hari ini juga saya akan meminta teman-teman untuk membuka rantaimu ini jadi kamu bisa berjalan bebas tanpa ada beban. Kamu mau, kan?” Sentuhan jari-jari hangatnya di kakiku yang terbelenggu mengalirkan perasaan hangat ke dada. Aku menangis dan melepaskan bilah pisau ke lantai. Kebaikan akhirnya datang untuk melindungiku. Mungkin ini kesempatanku untuk kembali seperti dulu.
“Jangan takut lagi ya, Nak. Saya akan membawamu ke tempat yang lebih baik. Setelah rantaimu diputus, kita akan mandi, berganti pakaian, makan, lalu pergi untuk menyembuhkan kamu. Setuju?”
Aku mengangguk dan terisak bersamaan. Walau samar, aku ingat rasanya berbahagia dan perasan itu kembali menyelimuti tubuhku. Hangat. Seperti kain tebal yang menyelimuti tubuhku kala hujan itu. Seperti sahabat yang memberikan bahunya untukku bersandar. Seperti Tuhan yang akhirnya mengabulkan pintaku.
Dan ketika rantai diputus, untuk pertama kalinya aku kembali merdeka dan menemukan kewarasanku lagi.*
Bekasi, 14 Juli 2018