Jika aku berbagi cerita dan menuturkan kisahku, maukah
kau duduk diam mendengarkan, meluangkan sedikit
waktumu yang kita sama-sama tahu sangat berharga itu?
Tanpa banyak kata-kata untuk menanggapi apa kataku,
tetapi tersedia dengan perhatian yang lebih dari sekedar
cukup untuk membantu?

Jika aku berbagi cerita dan menuturkan kisahku, akankah
kau mau menyimak untuk memahami benang kusut dalam
kepalaku? Namun, dari sudut pandangku, dari
perspektifku—maukah kau menanggalkan sejenak
kacamatamu, dan melihat apa saja yang kulihat sampai
rasanya berat sekali sejauh ini?

Jika aku berbagi cerita dan menuturkan kisahku, maukah
kau untuk berbagi perhatianmu? Tak cepat memberi
nasehat ini dan itu? Menyadari spiritualisme tak selalu
tepat menjawab setiap kondisi depresi yang menindihku?
Mengingat bahwa bebanmu dan bebanku bukanlah dua
hal yang sepatutnya diperbandingkan begitu?

Jika aku berbagi cerita dan menuturkan kisahku, maukah
kau mendukungku dengan senyum dan rangkulan
bersahabat yang mungkin bisa sedikit melegakanku?
Ketulusan dan pelukan hangat? Juga empati yang
membuatmu rela ikut melewati duka bersamaku sejenak?

Jika aku berbagi cerita
dan menuturkan sedikit kisah
yang membebani memberatkan
pundak dan hatiku

Maukah kau
Menjadi pendengar yang sabar
Menjadi pendamping yang sedia
Menjadi kawan berbagi
yang berempati
tanpa menghakimi?

Supaya tak lagi-lagi

Di akhir cerita, yang kudapati adalah respon yang menilai
sana-sini. Nasehat yang sebenarnya tidak ku perlu. Atau
mimik wajah yang membuatku menyesal telah bercerita
padamu. Dan penyangkalan akan semua pemikiran,
pengalaman, dan emosi-emosi yang sebenarnya perlu
dimengerti dan divalidasi.

Bisakah aku berharap sesederhana itu?

Sesederhana aku, dan kau, berbagi, tanpa stigma yang kau
pakai untuk menjembatani.

Sesederhana aku, dan kau, berbagi, tanpa stigma yang kau
tawarkan menjadi satu-satunya jawaban pasti.

Bolehkah stigma diganti jadi empati dan peduli?
Bolehkah empati dan peduli menjadi jembatan dan jawaban
yang kudapati ketika ceritaku kubagi?

Karena temanku,
cerita ini, sebenarnya terlalu banyak,
terlalu banyak,

untuk ditanggung hanya sendiri.

 

 

Depok, Akhir September 2018

Yuliana Martha Tresia
Yuliana Martha Tresia
Berlatar belakang pendidikan Sosiologi, Yuliana yang merupakan Mental Health Writer & Promotor menaruh perhatian besar pada isu kesehatan jiwa, khususnya dalam keterkaitannya dengan masalah kemiskinan, isu perempuan dan gender, serta kelompok minoritas. Ia bercita-cita agar Indonesia lebih terbuka dan responsif terhadap kesehatan jiwa, tanpa bayang-bayang stigmatisasi lagi. Untuk itu, ia percaya, tulisan adalah salah satu sarana untuk terus berbicara dan mengedukasi. Dapat dikontak di akun Instagram @yoeels.