JAKARTA – Akhir-akhir ini peristiwa bunuh diri ramai dimuat media massa. Foto dan video adegan bunuh diri bahkan tersebar luas di media sosial tanpa henti-henti. Peristiwa bunuh diri secara jelas dapat memunculkan rasa ngeri, dan berpotensi menimbulkan trauma yang mengganggu kesehatan jiwa bagi masyarakat juga keluarga korban.
Dari sisi pemberitaan, umumnya media massa menguraikan metode atau cara bunuh diri dengan rinci. Media massa juga secara absolut menyebutkan penyebab tunggal hingga penggambaran kondisi korban secara mengerikan. Pengemasan pemberitaan jurnalistik seperti ini tentunya melanggar Kode Etik Jurnalistik terkait larangan pemberitaan yang sadis dan itikad buruk. Pemberitaan tersebut justru keluar dari koridor fungsi pers sebagai penyampai edukasi ke publik.
Selain itu, informasi bunuh diri yang rinci bisa mendorong orang dengan depresi atau dengan masalah serupa untuk melakukan bunuh diri. Efek ini dinamakan Efek Werther. Pemberitaan bunuh diri tidak bisa disamakan dengan berita pada umumnya, karena berpotensi menyebabkan bunuh diri tiruan.
Berkaca dari pemberitaan dan peristiwa bunuh diri belakangan ini, Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Jakarta, Komunitas Into The Light Indonesia dan LBH Pers melakukan survei tentang pengetahuan jurnalis tentang isu bunuh diri.
“Berdasarkan survei yang diikuti 132 jurnalis dari 83 media di Indonesia menunjukkan pengetahuan jurnalis terhadap isu bunuh diri masih rendah,” kata Anggota Divisi Gender, Anak dan Kelompok Marjinal AJI Jakarta, Widia Primastika dalam keterangan pers, Minggu (24/02).
Primastika menambahkan, dalam penelitian yang dimulai sejak Januari – Februari 2019, mengelompokkan jurnalis ke dalam 3 kategori, yakni muda (bekerja 1-5 tahun) sebanyak 53%, madya (bekerja 6-10 tahun) sebanyak 45%, dan utama (bekerja lebih dari 10 tahun) sebanyak 32%.
“Hasilnya, mayoritas jurnalis kategori muda setuju, kematian akibat bunuh diri lebih layak diberitakan daripada menginformasikan tentang pemikiran dan perencanaan bunuh diri seseorang. Sementara, sebagian besar jurnalis kelompok madya menganggap kejadian bunuh diri dari tokoh publik adalah hal yang luar biasa,” kata Primastika.
Sementara itu, Pengurus Komunitas Into The Light Indonesia Venny Asyita menyebutkan, “Secara umum, setiap kelompok jurnalis menganggap pentingnya pedoman pemberitaan bunuh diri untuk meminimalisasi dampak dari kejadian bunuh diri.”
Venny juga mengatakan penelitian ini dilakukan karena peran jurnalis sangat penting dalam memahami isu bunuh diri. “Pemberitaan bunuh diri dengan memunculkan metode yang jelas dan dramatis membuat masyarakat gelisah. Apalagi ditambah penggunaan media sosial yang semakin liar,” katanya.
Pentingnya pedoman pemberitaan demi memperkuat fungsi pers sebagai pemberi edukasi ke publik. Pengacara LBH Pers, Gading Yonggar Ditya mengatakan pers nasional memiliki fungsi sebagai media informasi, pendidikan. Hal tersebut sebagaimana diatur dalam Pasal 3 UU No. 40 Tahun 1999 tentang Pers.
“Di kalangan pekerja media, isu bunuh diri memang hal yang asing, tapi kami melihat bahwa semakin banyak pengalaman yang dimiliki jurnalis akan meningkatkan pengetahuan mereka terhadap isu umum bunuh diri yang salah,” kata Gading.
Gading menambahkan, Jurnalis juga harus menyadari Pasal 8 ayat 7 UU No. 18 Tahun 2014 tentang Kesehatan Jiwa mengamanatkan media massa untuk turut berperan dalam upaya promotif kesehatan jiwa. “Komentar negatif dalam peristiwa bunuh diri dapat membuat orang dengan kecenderungan bunuh diri dan depresi enggan mencari bantuan lantaran takut terkena stigma dan penghakiman dari orang banyak,” katanya.
Narahubung:
Widia Primastika (AJI Jakarta), 0821-3466-6563
Venny Asyita (Komunitas Into The Light Indonesia), 0817-9011-21
Gading Yonggar Ditya (LBH Pers), 0813-9294-6116