Merawat Kesehatan Jiwa dengan Berkebun

“Sometimes since I’ve been in the garden I’ve looked up through the trees at the sky and I have had a strange feeling of being happy as if something was pushing and drawing in my chest and making me breathe fast. Magic is always pushing and drawing and making things out of nothing.”

The Secret Garden (Frances Hodgson Burnett)

Apa yang terlintas dalam pikiran Anda jika mendengar kata berkebun? Permainan daring FarmVille di Facebook, gim konsol populer Harvest Moon, atau kebun urban ala Rara Sekar dan Ben Laksana? Mungkin ada banyak definisi berkebun dalam tiap pikiran orang. Namun, ternyata banyak studi yang mengatakan bahwa berkebun memiliki manfaat untuk kesehatan, baik fisik maupun mental.

Kebanyakan orang mungkin berpendapat bahwa berkebun hanya bisa dilakukan oleh mereka yang tinggal di kawasan yang lebih dingin di Jakarta dan sekitarnya, atau hanya bisa diwujudkan oleh mereka yang memiliki halaman luas di pinggiran kota. Padahal pada kenyataannya, berkebun bisa dilakukan di mana pun, bahkan di rumah tanpa halaman sekalipun, selama masih tersedia tanah, pot, dan persiapan yang tepat.

Dalam kehidupan sehari-hari, kita mungkin melihat orang-orang dengan usia lanjut yang sering kali melakukan kegiatan berkebun. Mereka begitu telaten dan memiliki waktu luang lebih banyak untuk merawat tanaman-tanamannya. Tak hanya untuk yang orang berusia lanjut, anak-anak dan muda-mudi pun bisa merasakan manfaat dari berkebun.

Membantu mengatur emosi

Kegiatan yang berhubungan dengan alam terbukti dapat meningkatkan kemampuan mengelola emosi serta mengurangi gejala depresi dan gangguan kecemasan. Hal tersebut ditemukan dalam serangkaian penelitian yang terkait dengan terapi berbasis alam, seperti terapi alam liar, terapi hortikultura, dan ruang hijau urban.

Memicu rasa senang

Dalam berkebun, kita diajak untuk melihat bagaimana tanaman memulai kehidupannya dari biji-biji kecil dalam tanah yang kita tanam. Berhati-hati merawat benih hingga menjadi bibit. Menggali tanah, membuat kompos, mencoba-coba media tanam hingga mendapatkan formula yang tepat. Merawat dan menyiram tanaman dengan rutin setiap hari, hingga akhirnya melihat kuncup bunga yang mulai bermekaran dan menyibakkan kecantikannya atau jika menanam sayur dan buah.

Ketika kita dapat melihat atau memanen hasil dari berkebun yang dilakukan diri sendiri, tentu menyenangkan hati dan memberikan kepuasan tersendiri.

Belajar menghargai alam

Sudah beberapa bulan saya mencoba berkebun di rumah dengan bermodalkan tanah dan pot yang diwariskan oleh ibu. Halaman rumah yang kecil dan minim tanah tidak menjadi penghalang saya untuk menjadikan berkebun sebagai terapi tambahan. Prosesnya memang tidak mudah. Terkadang tanamannya mati, tak bisa diselamatkan. Namun, hal tersebut tidak membuat semangat surut. Malahan, saya banyak mendapatkan pelajaran tentang cara menghargai alam dan proses sabar. Perlahan terapi berkebun mulai menunjukkan hasilnya dalam memperbaiki mood dan kesehatan jiwa saya.

Jika Anda belum pernah membaca buku “The Secret Garden” karena Frances H. Burnett, saya sangat menyarankan Anda untuk membacanya. Buku ini bercerita bagaimana berkebun perlahan mengubah fisik dan mental para tokoh di dalamnya menjadi lebih baik. Sedikit banyak, saya belajar mencintai berkebun dari buku fiksi ini.

Meningkatkan aktivitas fisik

Setiap kali kita berkebun, akan ada banyak gerakan-gerakan ringan yang bisa membuat tubuh kita lebih sehat. Bergerak adalah cara paling alami untuk meningkatkan endorfin dalam tubuh dan mencegah penurunan mood yang menyebabkan depresi. Aktivitas fisik saat berkebun, seperti menggali tanah, menanam benih, menyiram, dan merawat tanaman secara rutin, tentunya jauh lebih ringan dibandingkan berolahraga. Menyenangkan bukan?

Berkebun memang tak bisa menggantikan penanganan dokter, namun bisa menjadi salah satu alternatif terapi yang bisa Anda lakukan sendiri untuk memberikan getaran positif pada jiwa dan raga. Masih banyak kegiatan positif dan kreatif lain yang bisa Anda lakukan selain dengan berkebun. Anda bisa mencoba melukis, menari, bahkan menulis. Semuanya akan semakin baik jika kegiatan-kegiatan tersebut dipadukan dengan interaksi bersama alam.

Yang paling penting, teruslah bersemangat untuk hidup lebih sehat dan bahagia. Stay alive, folks!

Allysa Rismaya Dwi Putrie
Allysa Rismaya Dwi Putrie
Setelah lulus dari jurusan Sastra Belanda di Universitas Indonesia, Allysa Rismaya mendedikasikan dirinya sebagai penulis lepas. Ketertarikannya kepada isu kesetaraan gender, feminisme, hak asasi manusia, lingkungan hidup dan kesehatan jiwa membuat Allysa bersuara dan berjuang dalam tulisan di manapun ia bisa menulis. Selain membuat matanya semakin rabun di depan laptop, sesekali Allysa gemar mempertontonkan resep makanan dan "ngomel" di Instagram @nagabetarung.