“13 Reasons Why” dan Pengaruhnya terhadap Perilaku Bunuh Diri Remaja

Gambar: Poster promosi “13 Reasons Why” untuk musim pertama. © Netflix

Serial 13 Reasons Why yang tayang di kanal streaming Netflix telah memperoleh popularitas tinggi[1] sejak tayang perdana 31 Maret 2017 dan menuai banyak pujian[2,3]. Bahkan, serial ini berhasil menempati peringkat pertama Digital Original Spot di Amerika Serikat saat musim kedua serial ini dirilis[4]. Serial ini diangkat dari sebuah novel berjudul sama yang menceritakan Hannah Baker, seorang remaja perempuan yang meninggal akibat bunuh diri. Hannah meninggalkan rekaman audio yang menyampaikan tiga belas alasan mengapa ia memutuskan untuk melakukan bunuh diri. Paduan kisah yang menarik serta akting yang berbakat juga turut membangun popularitas 13 Reasons Why.

13 Reasons Why dipuji karena mengangkat isu yang sering dialami atau dihadapi remaja di AS, seperti perundungan (bullying), perilaku melukai diri (self-harm), penyalahgunaan zat, dan kekerasan. 13 Reasons Why dianggap ampuh meningkatkan kesadaran mengenai isu-isu tersebut[5,6]. Namun, di balik popularitas 13 Reasons Why, ada banyak kritik negatif, salah satunya adalah adegan bunuh diri Hannah yang terlalu detail dan terkesan meromantisasi bunuh diri[5,7]. Argumen lain juga mengkritik 13 Reasons Why yang dapat berdampak negatif pada kesehatan jiwa remaja[6,7], terutama pada perilaku bunuh diri[7,8].

Penelitian Mengenai Kaitan 13 Reasons Why dengan Pola Peningkatan Bunuh Diri Remaja

Perhatian terhadap dampak 13 Reasons Why terhadap perilaku bunuh diri remaja tertuang pada penelitian yang dilakukan oleh Dr. Jeffrey A. Bridge dan rekan-rekannya[9]. Bridge dkk. melakukan analisis terhadap data Web-based Wide-ranging Online Data for Epideimologic Research (WONDER) yang diterbitkan oleh The Centers for Disease Control and Prevention (CDC)[9]. Data yang dianalisis merupakan data kematian akibat bunuh diri dan pembunuhan pada individu usia 10 hingga 64 tahun sepanjang 1 Januari 2013 hingga 31 Desember 2017[9]. Data diolah dengan cara membagi data menjadi 3 kelompok usia: anak-anak hingga remaja (10 hingga 17 tahun), awal dewasa (18-29 tahun), dan dewasa muda hingga madya (30-64 tahun)[9]. Data dianalisis dengan memperhatikan jumlah kematian tiap bulan per 100.000 orang[9].

Berdasarkan data WONDER, terjadi 180.655 kematian akibat bunuh diri pada individu berusia 10 hingga 64 tahun di Amerika Serikat sepanjang 1 Januari 2013 hingga 31 Desember 2017[9]. Setelah 13 Reasons Why tayang, terjadi peningkatan angka kematian akibat bunuh diri sebanyak 28,9% pada kelompok usia 10-17 tahun[9]. Pada April 2017, satu bulan setelah rilisnya 13 Reasons Why di Netflix, diperoleh angka kematian bunuh diri tertinggi dibandingkan dengan bulan-bulan lainnya, dengan rasio kematian 0,57 per 100.000 orang[9].

Setelah 13 Reasons Why tayang, terjadi peningkatan angka kematian akibat bunuh diri sebanyak 28,9% pada kelompok usia 10-17 tahun.

Bridge, dkk. (2019)

Kenaikan angka bunuh diri ini juga tinggi pada Mei dan Desember 2017[9]. Angka kematian akibat bunuh diri juga meningkat secara signifikan pada Maret 2017, dimana 13 Reasons Why mulai dipromosikan sebelum kemudian dirilis dan dapat ditonton seluruh episodenya pada 31 Maret 2017[9]. Namun, pada kelompok usia lainnya, tidak terjadi kenaikan angka kematian akibat bunuh diri yang signifikan.

Bunuh Diri Tiruan

Korelasi tayangan 13 Reasons Why dan pengaruhnya terhadap peningkatan angka bunuh diri dapat dijelaskan melalui fenomena bunuh diri tiruan[7,9]. Bunuh diri tiruan adalah perilaku bunuh diri yang disebabkan seseorang menyaksikan orang lain melakukan perilaku bunuh diri, terutama kepada orang yang memiliki hubungan emosional atau memiliki karakteristik yang sama dengannya.

Premis cerita 13 Reasons Why yang menampilkan seorang remaja perempuan meninggal karena bunuh diri menimbulkan keprihatinan, karena hal ini dapat memicu perilaku bunuh diri tiruan di kalangan remaja perempuan[9]. Meskipun demikian, Bridge dkk. tidak menemukan kenaikan angka kematian bunuh diri yang signifikan pada perempuan berusia 10-17 tahun setelah 13 Reasons Why rilis[9]. Sebaliknya, Bridge dkk. justru menemukan angka kematian akibat bunuh diri yang naik secara signifikan pada remaja laki-laki setelah 13 Reasons Why[9] dirilis. Bridge dkk. berargumen bahwa ada tokoh laki-laki dalam 13 Reasons Why yang mencoba melakukan bunuh diri di akhir musim pertama seri ini[9], yang memicu perilaku bunuh diri tiruan pada remaja laki-laki.

Selain itu, beragam penelitian juga menyatakan bahwa secara global angka kematian akibat bunuh diri laki-laki lebih tinggi dibandingkan perempuan, sementara angka percobaan bunuh diri perempuan lebih tinggi dibandingkan laki-laki[9]. Bridge dkk. berpendapat bahwa hasil penelitiannya juga mendukung data global, di mana angka percobaan bunuh diri remaja perempuan meningkat setelah penayangan 13 Reasons Why, tetapi angka kematian akibat bunuh diri remaja laki-laki yang meningkat[9]. Sayangnya, belum tersedia data mengenai individu yang mendapat perawatan rumah sakit akibat percobaan bunuh diri untuk mengonfirmasi penjelasan ini[9].

Media Berperan untuk Mencegah Bunuh Diri

Hasil penelitian Bridge dkk. menunjukkan rentannya remaja akan perilaku bunuh diri tiruan[9]. Fenomena ini juga menunjukkan pentingnya media massa untuk memberitakan dan memaparkan bunuh diri secara hati-hati dan bertanggungjawab[9]. Penting bagi media untuk melakukan praktik pemberitaan dan penggambaran bunuh diri yang baik, seperti yang telah disusun oleh National Action Alliance for Suicide Prevention, World Health Organization, dan reportingonsuicide.org[10].

Namun, penelitian Bridge dkk. memiliki beberapa keterbatasan. Pertama, penelitian ini tidak dapat menunjukkan hubungan sebab-akibat antara 13 Reasons Why dengan meningkatnya angka kematian bunuh diri pada remaja, meskipun Bridge dkk. mampu menunjukkan adanya kaitan antara kedua hal tersebut[9]. Kedua, Bridge dkk. tidak dapat menentukan faktor apa yang membuat adanya kaitan antara 13 Reasons Why dan meningkatnya angka kematian akibat bunuh diri pada remaja[9]. Ketiga, Bridge dkk. tidak memeriksa dampak penayangan 13 Reasons Why terhadap metode bunuh diri[9]. Keempat, Bridge dkk. menyadari kemungkinan faktor-faktor lain seperti adanya kejadian atau konteks lainnya yang berpengaruh pada meningkatnya angka kematian akibat bunuh diri pada remaja[9].

Terlepas dari semua hal tersebut, penelitian Bridge dkk. menyadarkan kita mengenai pentingnya pemberitaan bunuh diri yang baik oleh media massa. Melalui penggambaran dan pelaporan bunuh diri yang aman, remaja yang rentan dapat terlindungi dari perilaku bunuh diri tiruan. Setelah kontroversi dan kritik oleh berbagai professional kesehatan jiwa, Netflix setuju untuk menambahkan peringatan sebelum seseorang menonton serial tersebut. Netflix juga menyediakan situs www.13reasonswhy.info yang didedikasikan untuk mencari informasi dan bantuan bagi orang yang memiliki risiko bunuh diri.

Kematian akibat bunuh diri yang muncul dalam data mungkin hanya berupa angka. Namun bagi orang-orang terdekat yang ditinggalkan, kematian akibat bunuh diri begitu tragis, menyiksa, dan meninggalkan luka mendalam. Penanganan perilaku bunuh diri merupakan tanggung jawab setiap orang yang sejatinya adalah makhluk sosial.

*Dr. Jeffrey A. Bridge merupakan seorang peneliti dari Ohio State University College of Medicine. Peneliti lain yang terlibat pada penelitian ini juga berasal dari Nationwide Children’s Hospital Big Lots Behavioral Health Service, Carneige Mellon University, Intramural Research Program, National Institute of Mental Health, dan West Virginia University.

Referensi

[1] Min, L. (2017, 12 April). ’13 Reasons Why’ is Netflix’s most popular show on social media. Diambil dari https://www.teenvogue.com/story/13-reasons-why-netflix-most-popular-show-social-media.

[2] 13 Reasons Why. (2018). Diambil dari https://www.metacritic.com/tv/13-reasons-why.

[3] 13 Reasons Why. (2019). Diambil dari https://www.imdb.com/title/tt1837492/.

[4] Spangler, T. (2018, 22 Mei). ‘13 Reasons Why’ Jumps to No. 1 Digital Original Spot in U.S. With Season 2 Premiere. Diambil dari https://variety.com/2018/digital/news/13-reasons-why-season-2-premiere-viewing-rankings-1202818516/.

[5] British Broadcasting Channel (BBC). (2018, 18 Mei). 13 Reasons Why: season two is ‘unnecessary’, critics say. Diambil dari https://www.bbc.com/news/entertainment-arts-44170473.

[6] Mental Health Foundation of New Zealand. (2019). 13 Reasons Why. Diambil dari https://www.mentalhealth.org.nz/get-help/13-reasons-why/.

[7] Jacobson, S. L. (2017). Thirteen reasons to be concerned about 13 Reasons Why. The Brown University Child and Adolescent Behavior Letter. Advance online publication. DOI: 10.1002/cbl.30220.

[8] Zarin-Pass, M., Plager, P., & Pitt, M. B. (2018). 13 things pediatricians should know (and do) about 13 Reasons Why. Pediatrics. Advance online publication. Diambil dari https://pediatrics.aappublications.org/content/141/6/e20180575.full.

[9] Bridge, J. A., Greenhouse, J. B., Ruch, D., Stevens, J., Ackerman, J., Sheftall, A. H., Horowitz, L. M., … Campo, J. V. (2019). Association between the release of Netflix’s 13 Reasons Why and suicide rates in the United States: An interrupted times series analysis. Journal of the American Academy of Child & Adolescent. Advance online publication. doi: https://doi.org/10.1016/j.jaac.2019.04.020.

[10] National Institutes of Health. (2019, 29 April). Release of “13 Reasons Why” associated with increase in youth suicide rates. Diambil dari https://www.nih.gov/news-events/news-releases/release-13-reasons-why-associated-increase-youth-suicide-rates.

Dicky Sugianto
Dicky Sugianto
Dicky Sugianto adalah komunikator, peneliti, dan praktisi ilmu psikologi. Ia memiliki keprihatinan pada isu kesehatan mental, seperti depresi, perilaku bunuh diri, kedukaan, serta kondisi psikologis kelompok yang dikenai stigma. Saat ini, ia sedang mempelajari bagaimana seseorang dapat memiliki kehidupan yang layak untuk dihidupi melalui welas asih.