Tanganku mengayun, jantungku berdetak.
Tetapi, seolah tidak ada hawa nyawa yang mengisi setiap gerakan.
Mataku terbelalak, gigiku bergemeretak.
Tetapi, seolah tidak ada titik cahaya yang berkilauan.
Mereka bilang, “Dia sedang berjalan.
Lihat, pandangannya bermakna, wajahnya merona”
Napasku kembang kempis, mataku terpejam.
Ada sesuatu di depanku yang tidak berani kulihat.
Rasa sesak melilitku, kilatan terik matahari mencakarku.
Nyawaku bersemayam, tetapi penglihatanku buram.
Mereka bilang, “Dia sedang berjalan.
Lihat, otaknya berputar, suaranya menggelegar”
Lalu aku terdiam. Atas semuanya itu,
aku harus memilih sisi yang mana?
Melangkah ke sana, dan namaku terukir; semuanya berakhir.
Tetap di sini, dan irisan pisau tidak akan beralih,
telapak kakiku semakin perih.
“Tidak ada yang baik-baik saja”, suara-suara terus berdalih.
“Tidak, koreksi, semuanya akan baik adanya”, hatiku berbisik lirih.
Peperangan ini tidak akan berakhir, dan perjalanan akan
mengukir sketsa-sketsa langkahku.
Biar pejaman mata dan hembusan napas yang memberi obat sementara, dan
doa yang mengiring langkah,
karena Sang Empunya Mata
tidak pernah terlelap.
Mereka bilang, “Dia sedang berjalan.
Lihat, dia berhenti dan berserah diri”
Mario Benediktus,
16/11/2020, 19:08
Puisi berlatarbelakang refleksi tentang bagaimana rasanya bergula dengan pikiran sendiri untuk tetap bertahan hidup.
Mario (23)