Laporan Perilaku Penggunaan Layanan Kesehatan Mental di Indonesia 2021 – Hasil Awal

Klik untuk melihat artikel lengkap.

Ringkasan eksekutif

Ketersediaan fasilitas layanan kesehatan mental di Indonesia belum memadai. Selain itu, kualitas layanan juga cenderung bervariasi tergantung tingkat fasilitas, lokasi, dan faktor lainnya yang selama ini belum terevaluasi secara komprehensif. Di sisi lain, literasi masyarakat tentang gangguan jiwa dan bunuh diri maupun fasilitas kesehatan yang tersedia turut berperan terhadap intensi kunjungan ke layanan kesehatan mental. Oleh karena itu, survei nasional ini bertujuan menggambarkan literasi dan stigma terhadap bunuh diri, perasaan kesepian dan pikiran menyakiti diri sendiri, layanan kesehatan yang dipercaya mampu membantu gangguan mental, kepemilikan asuransi dan riwayat ke layanan kesehatan mental, serta faktor penghambat dan pendorong masyarakat Indonesia untuk mengakses layanan kesehatan mental.

Survei ini menggunakan metode sampling non-acak, di mana pengumpulan data dilakukan secara daring pada 25 Mei hingga 16 Juni 2021. Tautan ke survei disebarkan melalui seluruh media sosial Into The Light Indonesia dan para mitra, serta dengan menjangkau organisasi maupun individu representasi kelompok termarginalkan, termasuk komunitas interseks, transgender, non-biner, non-heteroseksual, difabel, dan orang dengan HIV positif. Instrumen yang digunakan merupakan gabungan dari penelitian terdahulu dan diadaptasi sesuai kebutuhan, serta beberapa instrumen yang khusus dikembangkan untuk survei ini.

Demografi partisipan cukup beragam dan menggambarkan komposisi masyarakat Indonesia. Partisipan (N = 5.211) didominasi kelompok usia 18-34 tahun (79,9%) yang tersebar di semua 34 provinsi di Indonesia, tetapi sebagian besar berada di Pulau Jawa (75,8%). Mayoritas partisipan beragama Islam (70,9), perempuan (67,3%), heteroseksual (89,6%), dan tanpa disabilitas (77,7%).

Partisipan terlihat memiliki literasi bunuh diri seadanya dengan rata-rata skor sebesar 12 dari rentang minimum 0 dan maksimum 24, di mana semakin tinggi skor menunjukkan tingkat literasi bunuh diri juga semakin tinggi. Stigma bunuh diri juga terlihat sedang dari rata-rata skor sebesar 42, dengan rentang minimum 15 dan maksimum 75, di mana semakin tinggi skor menunjukkan stigma terhadap bunuh diri juga semakin tinggi. Walau demikian, terdapat rentang perbedaan skor di antara sub-kelompok jika dilihat dari sub-skala; misalnya partisipan berusia 35 tahun atau lebih menunjukkan skor yang lebih tinggi dalam sub-skala stigmatisasi dibandingkan partisipan di bawah 35 tahun.

Secara umum, sebanyak 98,0% partisipan mengalami rasa kesepian dalam empat minggu terakhir dan 39,3% merasa lebih baik mati atau berpikir ingin melukai diri sendiri dengan cara apapun dalam dua minggu terakhir. Secara konsisten, semakin tinggi penghasilan maka persentase rasa kesepian dan pikiran menyakiti diri sendiri semakin menurun. Pikiran menyakiti diri sendiri lebih prevalen ditemui pada partisipan berusia 18-24 tahun (50,4%); berpendidikan terakhir SMA atau lebih rendah (45,2%); merupakan pelajar, mahasiswa, atau pengangguran (50,4%); interseks, transpuan/transtuan, dan jenis kelamin/identitas gender lainnya (55,8%); non-heteroseksual (56,8%); HIV positif (62,8%); serta orang dengan disabilitas (64,5%).

Intervensi yang paling diyakini akan sangat membantu partisipan apabila memiliki masalah kesehatan mental di antaranya: membaca kitab suci dan berdoa (61,9%), mengonsumsi vitamin dan mineral (92,3%), dan berbicara dengan anggota keluarga (56,6%). Secara umum, sebanyak 73,7% partisipan memiliki asuransi atau jaminan sosial. Akan tetapi persentase ini lebih rendah pada partisipan berusia 18-24 tahun (67,8%); berpendidikan terakhir SMA atau lebih rendah (66,9%); merupakan pekerja lepas/honorer (62,8%), pelajar, mahasiswa, atau pengangguran (67,1%); tidak berpenghasilan (62,5%) dan penghasilan kurang dari Rp3.000.000/bulan (66,6%); interseks, transpuan/transtuan, dan jenis kelamin/identitas gender lainnya (58,1%); dan orang dengan disabilitas (69,2%).

Secara umum, hanya 29,6% partisipan yang tahu bahwa layanan kesehatan mental ditanggung oleh BPJS. Persentase ini lebih rendah pada partisipan berusia 35 tahun atau lebih (23,6%); domisili di luar Pulau Jawa (24,6%); berpendidikan terakhir SMA atau lebih rendah (25,0%); berprofesi sebagai wiraswasta (24,3%); tidak berpenghasilan (21,2%); dan laki-laki (22,8%). Secara umum, hanya 41,6% partisipan yang tahu jika ada layanan kesehatan mental di wilayah tempat tinggalnya saat ini. Persentase ini lebih rendah pada partisipan berpendidikan terakhir SMA atau lebih rendah (35,4%) dan tidak memiliki penghasilan (33,2%).

Secara umum, sebanyak 26,5% partisipan pernah mengakses layanan kesehatan mental dalam tiga tahun terakhir. Persentase ini relatif lebih tinggi pada partisipan berusia 18-34 tahun (30,4%) dan 25-34 tahun (31,3%); merupakan pelajar, mahasiswa, atau pengangguran (30,9%); perempuan (30,5%), interseks, transpuan/transtuan, dan jenis kelamin/identitas gender lainnya (37,2%); non-heteroseksual (42,3%); HIV positif (37,2%); dan orang dengan disabilitas (43,2%). Secara konsisten, layanan kesehatan mental di platform digital atau daring adalah jenis layanan yang paling sering diakses (67,9%).

Faktor eksternal yang paling umum ditemui sebagai alasan mengapa partisipan tidak mencari bantuan layanan kesehatan jiwa adalah mereka tidak mampu membayar untuk mendapatkan psikoterapi/konseling (56,7%). Sedangkan, faktor eksternal yang paling kecil persentasenya adalah dokter umum yang tidak memiliki waktu untuk membicarakan masalah terkait kesehatan mental pada sesi yang dijalani (4,3%). Di sisi lain, faktor internal yang paling umum ditemui sebagai alasan mengapa partisipan tidak mencari bantuan layanan kesehatan jiwa adalah pengalaman partisipan bahwa selama ini mereka selalu menyelesaikan masalahnya sendiri (62,0%). Sedangkan, faktor internal yang paling kecil persentasenya adalah pemikiran bahwa mengunjungi psikoterapis atau konselor adalah pertanda orang yang lemah (6,5%). Walau demikian, persentase ini bersifat dinamis jika dianalisis dalam sub-kelompok. Misalnya, sebanyak 34,9% partisipan dengan HIV positif merasa khawatir bahwa informasi yang mereka ceritakan kepada psikoterapis/konselor tidak akan dirahasiakan; kondisi yang hanya dikhawatirkan oleh 17,8% partisipan berstatus HIV negatif.

Dalam memilih layanan psikologi melalui enam aspek yang ditanyakan (institusi, tenaga kesehatan, tenaga administrasi, akses informasi, layanan dan sarana/prasarana, dan finansial), partisipan secara umum paling banyak memilih tentang reputasi, kemampuan berkomunikasi, tersedianya informasi yang menyeluruh secara online, lokasi mudah dijangkau dengan transportasi umum, dan biaya layanan yang terjangkau. Walau demikian, hasil ini bersifat dinamis jika dianalisis dalam sub-kelompok. Misalnya, sebanyak 75,6% partisipan non-heteroseksual sangat memperhatikan sikap tenaga kesehatan terhadap keragaman gender dan seksualitas (misal menerima orientasi seksual klien yang non-heteroseksual), dibandingkan dengan hanya 24,3% partisipan heteroseksual yang menimbang aspek tersebut.

Berdasarkan hasil temuan tersebut, beberapa saran praktis yang dapat diberikan kepada para pemangku kepentingan adalah dengan mengoptimalkan profesional dan non-profesional, komunitas dan organisasi, serta media massa untuk meningkatkan literasi dan menurunkan stigma terkait bunuh diri, serta memberikan psikoedukasi tentang kesehatan mental dan pelayanan yang tersedia termasuk jaminan sosial. Psikoterapi dan intervensi sosial yang diberikan perlu disesuaikan dengan kearifan lokal dan berbasis komunitas. Fasilitas pelayanan kesehatan dan tenaga kesehatan mental perlu menyediakan layanan yang dapat diakses seluruh kelompok masyarakat, khususnya kelompok masyarakat yang termarginalkan, termasuk di antaranya interseks, transgender, dan non-biner; non-heteroseksual; orang dengan HIV positif; dan orang dengan disabilitas.

Kata kunci: bunuh diri, layanan kesehatan mental, jaminan sosial, kelompok marginal, intervensi kesehatan digital, gangguan psikologis, kesepian.

Penulis

Benny Prawira
Selvi Magdalena
Monica Jenifer Siandita
Rachmadianti Sukma Hanifa
Andrian Liem

Kutip artikel ini

Into The Light Indonesia. (2021). Seri Laporan ke-1: Laporan Perilaku Penggunaan Layanan Kesehatan Mental di Indonesia 2021 – Hasil Awal. Jakarta: Into The Light Indonesia. Diunduh dari www.intothelightid.org.

Benny Prawira Siauw
Benny Prawira Siauw
Benny adalah seorang suicidolog dan penggiat kesehatan jiwa remaja dan populasi khusus lainnya. Sebagai Youth Mental Health and Suicide Prevention Advocate, Benny adalah Penggagas sekaligus Kepala Koordinator Into The Light Indonesia sejak 2013. Ia saat ini sedang menempuh pendidikan Magister Psikologi Sosial Kesehatan di Unika Atma Jaya (bukan seorang psikolog klinis untuk diagnosis dan terapi). Ia bercita-cita menjadi peneliti lapangan terkait aspek perilaku, struktur sosial dan budaya dalam kesehatan jiwa, terutama dalam pembahasan stigma dan faktor risiko bunuh diri. Baginya, kesehatan jiwa tidak dapat dipisahkan dari kesehatan fisik sebagaimana faktor personal individu tidak dapat dipisahkan dari faktor sosial makro. Di sela waktu senggangnya, ia suka berolahraga, tidur dan mengasah rasa dalam rangkaian kata.