Kepedulianmu untuk Jiwa yang Terluka

“Ih, ngapain coba bunuh diri?”

“Kayak orang nggak punya otak yah, masa putus asa sih hadapin masalah!”

“Orang bunuh diri itu nggak ingat sama Tuhan!”

“Bunuh diri itu bener-bener perbuatan bodoh.”

Ini semua hanyalah segelintir pernyataan negatif yang biasa kita dengar saat sebuah berita bunuh diri dipublikasikan. Masih banyak komentar negatif lain tentang bunuh diri. Tapi pernahkah kamu bertanya-tanya bagaimana caranya untuk mencegah peristiwa buruk ini menimpa lebih banyak orang?

Bunuh diri merupakan salah satu fenomena yang sama tuanya dengan umur ras manusia di bumi (Perlin, 1975). Salah satu fakta pahit mengenai bunuh diri adalah tingkat percobaan bunuh diri justru malah banyak ditemukan pada umur remaja, masa dimana seorang individu seharusnya lebih banyak menjelajahi dunia dan mendalami dirinya. Kebanyakan kasus diawali pada umur 12 tahun dan mencapai puncaknya pada usia 16 tahun, meskipun kasus bunuh diri bisa juga ditemui di masa perkembangan yang lebih lanjut (Nicolson & Ayers, 2004). Bahkan di Amerika Serikat, bunuh diri telah menjadi penyebab kematian terbanyak nomor dua bagi orang berusia 14 sampai 25 tahun (Dasey-Morales, 2011).

Pertanyaannya adalah mengapa remaja yang masih memiliki masa depan yang panjang malah memutuskan untuk mengakhiri hidupnya? Alasan spesifik biasanya hanya bisa ditemukan di dalam alur kehidupan korban bunuh diri itu sendiri. Secara umum, bagi kebanyakan remaja, tahun-tahun perkembangan mereka bisa jadi dipenuhi oleh guncangan dan stres. Remaja mengalami tekanan untuk bisa beradaptasi dan mencari jati diri di masyarakat. Masa remaja adalah masa ketika harus berjuang dengan masalah berkaitan dengan harga diri, kebimbangan, dan perasaan terasing. Semua hal yang harus dialami remaja ini akhirnya mengarah kepada depresi. Depresi inilah yang memang banyak dialami oleh korban bunuh diri sebelum melakukan aksinya (Efendi, 2009).

Di Indonesia, sepanjang Januari hingga November 2012, saya menemukan setidaknya 22 berita dari berbagai situs mengenai aksi bunuh diri yang dilakukan remaja dengan rentang usia 12-23 tahun. Perlu diingat, 22 berita ini hanya angka yang diekspos oleh media di internet, belum termasuk peristiwa bunuh diri yang dilakukan bukan oleh remaja dan tidak diketahui karena berada di luar jangkauan. Jumlah yang lebih mengejutkan bisa dilihat berdasarkan data dari World Health Organization yang dihimpun tahun 2005-2007, tercatat 50.000 orang Indonesia telah melakukan aksi bunuh diri sepanjang tahun dengan berbagai macam alasan dan metode. Dari angka ini, bisa dibayangkan berapa banyak jumlah remaja yang termasuk di dalamnya.

Bunuh diri tidak hanya berdampak pada kehidupan korban yang berakhir di tangannya sendiri. Dalam beberapa kasus, orang yang ditinggalkan oleh korban bunuh diri bisa mengalami ‘survivor’s guilt’, yaitu sebuah rasa bersalah yang sangat besar karena menganggap dirinya gagal menjaga orang yang dicintainya, tidak menemani, dan mencegahnya sebelum kejadian (Lickerman, 2010). Kegagalan dalam menerima kenyataan pahit seperti ini bisa menyebabkan orang yang ditinggalkan berpikir hendak menyusul orang yang bunuh diri dengan melakukan hal yang sama.

Ilustrasi/teenagecancertrust.org

Sebenarnya ada banyak hal yang bisa kitalakukan bersama untuk mencegah angka bunuh diri meningkat di generasi muda. Meski kehidupan orang lain bukanlah tanggung jawabmu, tapi kepedulianmu bisa mengubah kehidupan seseorang. Orang yang berpikir hendak bunuh diri bisa saja mengakhiri keinginannya sebelum dilakukan, selama ada orang lain yang memberikan perhatian lebih kepada hidupnya.

Nah, mungkin sekarang kamu jadi bertanya-tanya: gimana caranya bisa tahu orang itu mau bunuh diri kalau dia sendiri belum melakukannya?

Suicidal person atau orang yang ingin bunuh diri biasanya menunjukkan perilaku-perilaku tertentu yang bisa kamu amati, di antaranya:

  1. Menarik diri dari pergaulan dan kegiatan yang biasa dinikmati

  2. Kesulitan konsentrasi, mudah bosan, dan penurunan performa dalam melaksanakan tugas

  3. Mengekspresikan perasaan ingin mati, melarikan diri, dan ingin berpisah dari orang di sekitarnya

  4. Suasana hati yang berubah drastis, cenderung merasa tidak berdaya, tidak berguna, tidak berarti, dan terjebak

  5. Merencanakan untuk menyakiti diri sendiri, menjadi lebih kasar, sembrono, mudah tersakiti, dan lebih memberontak

  6. Tidak tertarik oleh hadiah ataupun pujian

  7. Perubahan pola makan dan tidur

  8. Penyalahgunaan alkohol dan obat-obatan

 Menurut U.S. Department of Health and Human Services, ada beberapa faktor risiko yang bisa meningkatkan kemungkinan remaja melakukan bunuh diri, di antaranya:

  1. Masa depresi

  2. Pelecehan dan penganiayaan di masa kanak-kanak

  3. Peristiwa traumatis

  4. Kurangnya orang yang mendukung

  5. Lingkungan yang keras di sekolah (bullying, padatnya jadwal belajar, dll) ataupun di dalam keluarga (KDRT, broken home, dll)

  6. Pemaparan yang jelas dan mendetail terhadap kasus bunuh diri remaja lainnya

Setelah menemukan ciri-ciri tersebut pada orang yang bersangkutan dan mempertimbangkan faktor risiko bunuh diriyang pernah terjadi di dalam hidupnya, maka kamu bisa mencoba untuk mendekatinya perlahan-lahan. Dengan kehadiranmu yang mau mendengarkan suicidal person ini, kamu akan memberinya sebuah tempat untuk meluapkan semua perasaan negatifnya.

Minimal, dia tahu bahwa dirinya tidak kesepian dan ada orang yang mau berusaha mengertinya. Hal ini bisa mengurangi kemungkinannya untuk melakukan bunuh diri. Namun, dikarenakan mereka sedang berada di dalam tahap kritis hidup, kamu juga perlu memperhatikan apa yang harus dilakukan dan jangan dilakukan saat hendak membantu agar tidak memperburuk keadaan.

Saat memulai percakapan dengan suicidal person, sangat disarankan untuk menggunakan empati dan perhatianmu apa adanya. Katakanlah bahwa selama ini kamu memperhatikannya dan melihatnya berubah. Tanyakanlah apakah ada sesuatu yang mengganggunya dan ingin ia ceritakan. Jika ia menolak untuk bicara, cukup katakanlah bahwa ia tidak sendirian dan kamu bersedia untuk mendengarkan saat ia mau membicarakannya.

Begitu kawanmu yang suicidal mulai membicarakan keinginannnya untuk bunuh diri, hindari memberi nasihat atau berdebat mengenai keinginannya untuk bunuh diri (misalnya: “Hidupmu masih panjang lho”, “Lihat deh sisi positifnya”) dan kurangi sikap yang menghakimi ataupun memojokkan pemikirannya, tak peduli seberapa buruk pun pemikirannya untuk bunuh diri di matamu (seperti: “Bego banget sih mau bunuh diri”, “Lo mikirin keluarga lo nggak sih gimana perasaan mereka kalo lo mati bunuh diri?”) karena semua hal itu tidak akan membantu sama sekali.

Pada tahun 1993, Shneidman, seorang suicidologist, menciptakan sebuah istilah bernama “psychache“, yaitu luka psikologi dan emosional yang sangat mendalam hingga tidak bisa ditahan lagi dan tidak bisa mereda dengan cara apapun sebagai penyebab utama bunuh diri. Dengan demikian, seseorang pastinya telah memiliki psychache-nya tersendiri, sebuah luka yang cukup berat baginya, jika ia telah berpikir ingin bunuh diri. Meski bagimu masalah yang menyebabkan luka tersebut bisa kamu atasi dengan mudah, tapi cobalah untuk bersabar mendengarkan lebih lanjut mengenai yang ada dalam hatinya. Dengarkan dan berikan ia kesempatan lebih banyak untuk mengekspresikan emosi negatifnya. Tetaplah berpikir dengan tenang apapun yang hendak diucapkan olehnya nanti. Jangan sampai terlihat kaget agar ia tidak menganggap kisahnya adalah hal yang mengejutkan ataupun membebanimu.

Jika kamu sudah melakukan ini semua, satu hal yang perlu kamu ingat adalah sebagai sesama manusia, kamu hanya bisa menunjukkan kepedulianmu untuk suicidal person ini. Kamu harus mempersiapkan dirimu sebaik mungkin untuk mencegahnya bunuh diri, tapi kebahagiaan orang lain tetap berada di tangannya sendiri. Tawarkanlah harapan kepadanya dengan menunjukkan bahwa dirinya penting bagimu dan kamu bersedia untuk mendengarkannya, tapi lebih baik untuk tidak memberikannya sebuah solusi atas masalahnya. Masalah sesungguhnya bukanlah hal yang dianggap masalah tu sendiri, sesungguhnya yang memicu seseorang hendak bunuh diri adalah rasa sakit psychache yang disebabkan oleh masalah. Suicidal person tidak ingin mati, mereka hanya ingin mencari cara untuk lolos dari rasa sakit yang teramat menjepit mereka. Maka akan lebih baik jika kamu bisa mendorongnya secara halus untuk menemui konselor, psikolog ataupun psikiater untuk membantu membimbingnya keluar dari masa-masa suram. Hati-hati saat merekomendasikannya ke ahli kesehatan mental, karena bisa saja dia tersinggung mengingat stigma negatif ‘orang gila’ yang masih menempel terhadap klien psikolog/pasien psikiater.

If you’ve done your best, let God take care of the rest!


Artikel ini pernah dimuat di Guetau.com

Benny Prawira Siauw
Benny Prawira Siauw
Benny adalah seorang suicidolog dan penggiat kesehatan jiwa remaja dan populasi khusus lainnya. Sebagai Youth Mental Health and Suicide Prevention Advocate, Benny adalah Penggagas sekaligus Kepala Koordinator Into The Light Indonesia sejak 2013. Ia saat ini sedang menempuh pendidikan Magister Psikologi Sosial Kesehatan di Unika Atma Jaya (bukan seorang psikolog klinis untuk diagnosis dan terapi). Ia bercita-cita menjadi peneliti lapangan terkait aspek perilaku, struktur sosial dan budaya dalam kesehatan jiwa, terutama dalam pembahasan stigma dan faktor risiko bunuh diri. Baginya, kesehatan jiwa tidak dapat dipisahkan dari kesehatan fisik sebagaimana faktor personal individu tidak dapat dipisahkan dari faktor sosial makro. Di sela waktu senggangnya, ia suka berolahraga, tidur dan mengasah rasa dalam rangkaian kata.