Perilaku Bunuh Diri, Gen, dan Otak: Semuanya Tidaklah Sesederhana yang Dikira

Artikel ini ditulis oleh Stefanny Christina, diterjemahkan oleh Carissa Permata.

Jumlah orang yang meninggal dunia karena bunuh diri telah meningkat hingga mendekati 800.000 orang per tahun(1). Beberapa dari Anda mungkin mengenal seseorang yang meninggal akibat bunuh diri. Beberapa dari Anda mungkin mengalami langsung rasanya memiliki dorongan untuk bunuh diri. Beberapa dari Anda pasti telah terpapar dengan bunuh diri, contohnya di dalam film, acara televisi, dan laporan berita. Pengalaman-pengalaman tersebut mungkin membuat Anda berpikir: mengapa seseorang memutuskan untuk mengakhiri hidupnya?

Pemberitaan tentang bunuh diri akhir-akhir ini seringkali mencatut pengalaman sangat mengena atau menyakitkan yang dialami seseorang sebelum bunuh diri, misalnya karena putus cinta. Setelah membaca itu, sebagian besar dari kita mungkin berpikir bahwa dia bunuh diri karena baru saja putus.

Ini normal. Otak kita secara alamiah, tiada henti, dan secara adaptatif mencari cara paling sederhana, paling familiar, dan tercepat untuk memahami dunia (Jika Anda tertarik, silakan cari tahu tentang heuristik).

Faktanya, memahami perilaku bunuh diri tidak sesederhana itu. Isu tersebut bukanlah garis lurus. Jika patah hati adalah satu-satunya penjelasan dari sebuah peristiwa bunuh diri, mengapa sebagian besar orang yang baru saja putus tidak menunjukkan perilaku bunuh diri?

Profesor van Heeringen dari Universitas Ghent (Belgia) dan Profesor Mann dari Universitas Columbia (AS) meninjau ulang riset di masa lalu mengenai perilaku bunuh diri dan mengusulkan sebuah model diatesis-stres bunuh diri(2). Riset mereka mengungkap bahwa tekanan hidup (contohnya patah hati) tidak bisa menjelaskan perilaku bunuh diri. Justru, pada beberapa orang yang berisiko tinggi memiliki perilaku bunuh diri, kuncinya terletak pada gen mereka dan lingkungan yang membentuknya. Kecenderungan ini bisa terwujud dalam tingkat kepekaan yang lebih tinggi terhadap stres, impulsivitas, pesimisme, atau keputusasaan.

Sesungguhnya, ciri-ciri genetik ini bisa menjelaskan 50% risiko bunuh diri (3, 4, 5).

Setelah ditemukannya teknologi pencitraan otak yang canggih, kita bisa mengamati aktivitas otak dan membuat korelasi dengan pikiran, perasaan, dan perilaku kita. Kita mengetahui bahwa semua jawabannya bisa dicari di otak kita. Aktivitas otak adalah koneksi antara kencenderungan genetik yang tadi disebutkan dengan perilaku nyata.

Jadi, berdasarkan hasil peninjauan ulang Heeringen dan Mann, apa yang kita ketahui tentang otak yang meningkatkan risiko perilaku bunuh diri?

Perbedaan pada cara sel otak berkomunikasi satu sama lain secara kimiawi

Otak terdiri dari sel (neuron) yang saling berkomunikasi untuk membentuk diri kita. Salah satu “bahasa: komunikasi mereka adalah melalui senyawa kimia bernama neurotransmiter.

Salah satu neurotransmiter, disebut serotonin, seringkali dibicarakan dalam literatur mengenai kesejahteraan kesehatan jiwa dan depresi(6, 7). Serotonin terlibat dalam mengatur beragam fungsi tubuh, termasuk keseimbangan suasana hati (mood) seseorang(7, 8).

Hasil tinjauan ulang menyimpulkan bahwa ada sistem serotonin yang berubah dalam otak orang-orang yang menunjukkan perilaku bunuh diri(2). Ini ditunjukkan oleh studi yang mengamati orang-orang yang meninggal dunia karena bunuh diri dan orang-orang yang pernah mencobanya namun selamat, dibandingkan dengan orang-orang yang tidak pernah berniat bunuh diri.

Hasilnya mengindikasikan bahwa serotonin lebih sedikit ditemukan di dalam otak dari orang-orang yang cenderung memiliki risiko perilaku bunuh diri lebih tinggi(2). Akan tetapi, seperti hal lainnya tentang otak, seberapa jauh keampuhan serotonin masih terus dipelajari. Kita bisa menyepakati saja bahwa serotonin memiliki peran penting dalam perilaku bunuh diri(2, 8, 9).

Noradrenergik, atau yang sering disebut noradrenalin, adalah bahasa kimiawi otak lainnya, yang juga penting dalam memahami perilaku bunuh diri. Senyawa kimia ini vital dalam keberlangsungan tubuh kita, karena senyawa ini adalah neurotransmiter utama yang berperan dalam mengatur sistem kardiovaskular kita(10). Telah ditemukan bukti-bukti yang menunjukkan kemungkinan kelainan transmisi noradrenalin (defisit) di dalam otak dari orang-orang yang lebih cenderung menunjukkan perilaku bunuh diri(2).

Perbedaan pada cara sirkuit otak tertentu dalam bereaksi terhadap stres

Otak bisa diandaikan sebagai staiun kereta yang super sibuk, aktivitas tinggi datang dan pergi dari segala penjuru dan beragam sel yang berbeda. Saat membahas sebuah perilaku tertentu, kita tidak bisa fokus pada satu sel saja. Pada dasarnya, kita harus amati rute penting yang dilalui sel-sel otak yang bernama sirkuit. Sebuah sirkuit yang amat penting adalah aksis hipotalamus-hipofisis-adrenal (HPA axis) yang berkaitan dengan perilaku bunuh diri(2, 11, 12).

HPA axis dikenal sebagai sistem respon stres utama kita. Saat kita mengalami stres, sirkuit ini akan merespon dengan mengaktivasi beberapa area otak dan melepaskan hormon yang berkaitan dengannya. Sebenarnya ini baik, karena tubuh harus bereaksi terhadap stres agar kita bisa melaluinya. Namun, riset menunjukkan bahwa jika HPA axis selalu aktif (yang artinya stres tidak berakhir), sirkuit ini beradaptasi dan akhirnya menjadi tumpul(2, 11, 12). Sebagai hasilnya, aksis ini tidak siap bereaksi memproses stres.

Kembali ke contoh kasus, masih ada hal lain yang dapat menambah kerumitan. Misalnya, Fulan memiliki kerapuhan genetik terhadap bunuh diri, dan gen itu telah dibentuk dalam lingkungan yang mendukung ekspresinya. Sebagai dampaknya, aktivitas otaknya berbeda saat bereaksi terhadap stres. Aktivitas-aktivitas otak ini membuatnya lebih sensitif terhadap stres, lebih impulsif, lebih pesimis, dan kurang mampu melihat harapan dalam situasi seperti ini.

Ini bukan penjelasan akhir. Riset masih dilakukan.

Kita bisa berharap bahwa dengan mengetahui temuan-temuan tentang perilaku bunuh diri di bidang genetika dan ilmu saraf, kita bisa memperkirakan siapa saja orang yang berisiko tinggi. Dengan melakukan itu, kita bisa mencegah dan menangani perilaku bunuh diri dengan lebih baik.

Referensi

  1. World Health Organisation (2018). Mental health: Suicide data. Diperoleh dari http://www.who.int/mental_health/prevention/suicide/suicideprevent/en/
  2. Heeringen, K., & Mann, J. J. (2014). The neurobiology of suicide. The Lancet, 1, 63-72.
  3. Statham, D. J., Heath, A. C., Madden, P. A., Bucholz, K. K., Bierut, L., Dinwiddie, S. H., Slutske, W. S., Dunne, M. P., & Martin, N. G. (1998). Suicidal behaviour: An epidemiological and genetic study. Psychological Medicine, 28(4), 839-855.
  4. Althoff, R. R., Hudziak, J. J., Willemsen, G., Hudziak, V., Bartels, M., & Boomsma, D. I. (2012). Genetic and environmental contributions self-reported thoughts of self-harm and suicide. American Journal of Medical Genetic Part B: Neuropsychiatric Genetics, 159B(1), 120-127.
  5. Risch, N., Herrell, R., & Lehner, T. (2009). Interaction between the Serotonin Transporter Gene (5-HTTLPR), stressful life events, and risk of depression: A meta-analysis. JAMA, 301(23), 2462-2471.
  6. Munafo, M. R., Brown, S. M., & Hariri, A. R. (2008). Serotonin transpoter (5-HTTLPR) genotype and amygdala activation: A meta-analysis. Biological Psychiatry, 63(9), 852-857.
  7. Gilihan, S. J., Rao, H., Wang, J., Detre, J. A., Breland, J., Sankoorikal, G. M. V., Brodkin, E. S., & Farah, M. J. (2010). Serotonin transporter genotype modulates amygdala activity during mood regulation. Social Cognition Affective Neuroscience, 5(1), 1-10.
  8. Mann, J. J., Huang, Y., & Underwood, M. D. (2000). A serotonin transporter gene promoter polymorphism (5-HTTLPR) and prefrontal cortical binding in major depression and suicide. Archive of General Psychology, 57(8), 729-738.
  9. Ryding, E., Lindstrom, M., & Traskman-Bendz, L. (2008). The role of dopamine and serotonin in suicidal behaviour and aggression. Progress in Brain Research, 172, 307-315.
  10. Gordan, R., Gwathmey, J. K., & Xie, L. (2015). Autonomic and endocrine control of cardiovascular function. World Journal of Cardiology, 7(4), 204-214.
  11. Melhem, N. M., Keilp, J. G., Porta, G., Oguendo, M. A., Stanley, B., Cooper, T. B., Mann, J. J., & Brent, D. A. (2016). Blunted HPA axis activity in suicide attempters compared to those at high risk for suicidal behaviour. Neuropsychopharmacology, 41(6), 1447-1456.
  12. Roy, A. Hodgkinson, C. A., Deluca, V., Goldman, D., & Enoch, M. A. (2012). Two HPA axis genes, CRHBP and FKBP5, interact with childhood trauma to increase the risk for suicidal behaviour. Journal of Psychiatry Research, 46(1), 72-9.
Carissa Fadina Permata
Carissa Fadina Permata
Saya adalah penerjemah yang tertarik dengan isu kesehatan jiwa. Karena itu, saya gembira berkontribusi di Into The Light dengan pengalaman menerjemahkan saya. Saya suka handlettering dan doodling.