Amicus Curiae untuk Jaminan Kesehatan Nasional yang Lebih Inklusif

Dalam rangka memperingati Universal Health Coverage Day yang jatuh pada tanggal 12 Desember, Lembaga Bantuan Hukum Masyarakat (LBHM), Into the Light Indonesia (ITLI), Bipolar Care Indonesia (BCI), dan Pusat Penelitian HIV AIDS Unika Atma Jaya (PPH Atma Jaya) mendaftarkan Amicus Curiae (Sahabat Peradilan) untuk mendukung gugatan koalisi masyarakat sipil terkait Jaminan Kesehatan Nasional.

Pada tanggal 10 Agustus 2020, tiga organisasi masyarakat sipil yaitu Rumah Cemara, Ikatan Perempuan Positif Indonesia (IPPI), dan Organisasi Perubahan Sosial Indonesia (OPSI) mengajukan gugatan Hak Uji Materiil (HUM) terhadap Peraturan Presiden Nomor 82 Tahun 2018 tentang Jaminan Kesehatan (Perpres JKN) didampingi oleh Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) selaku kuasa hukum ke Mahkamah Agung Republik Indonesia. Para pemohon menggugat Pasal 52 Ayat 1 Huruf (i) dan (j) Perpres JKN yang mengecualikan jaminan BPJS bagi pelayanan gangguan kesehatan akibat ketergantungan obat dan/atau alkohol, serta pelayanan gangguan kesehatan akibat sengaja menyakiti diri sendiri atau akibat melakukan hobi yang membahayakan diri sendiri.

Senada dengan poin-poin pemohon, kami memandang bahwa pengecualian jaminan layanan kesehatan ini menunjukkan pelanggaran terhadap prinsip nondiskriminasi yang telah termaktub di dalam Konstitusi dan berbagai peraturan perundang-undangan di Indonesia. Jaminan kesetaraan ini paling tampak dalam Pasal 28H ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945 yang menempatkan hak atas pelayanan kesehatan sebagai hak asasi manusia. Pengecualian ini pun melanggar prinsip nondisrkiminasi dalam Pasal 4 Undang-Undang 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan yang menyatakan setiap orang berhak atas kesehatan.

Lebih jauh lagi, kami memandang bahwa aturan di dalam Perpres No. 82/2018 tersebut merupakan bentuk diskriminasi terhadap orang dengan disabilitas psikososial, yakni orang-orang yang mengalami hambatan-hambatan struktural akibat masalah kejiwaan yang mereka alami dan persepsi masyarakat luas terhadap mereka. Orang dengan disabilitas psikososial yang didiagnosis memiliki skizofrenia, bipolar, depresi, gangguan kepribadian, dan gangguan kecemasan rentan mengalami gangguan episodik yang menyebabkan mereka untuk melukai diri sendiri (self-harm) atau melakukan upaya bunuh diri.

“Bipolar Care Indonesia mencatat kasus-kasus di mana orang dengan disabilitas psikososial tidak ditanggung biaya perawatannya pasca episode self-harm atau bunuh diri sekalipun mereka terdaftar sebagai peserta BPJS,” jelas Agus Hidayat, Wakil Ketua BCI. “Penolakan ini berpotensi memperburuk kondisi kesehatan mental mereka.”

Pengecualian jaminan terhadap gangguan kesehatan akibat sengaja menyakiti diri sendiri juga mengabaikan fakta bahwa kondisi menyakiti diri sendiri seringkali diiringi kehadiran gangguan mental, sehingga hal ini menyebabkan banyak penyintas menutup-nutupi perilaku menyakiti diri mereka dan tidak mendapatkan perawatan menyeluruh atas gangguan episodik yang mereka alami. Akhirnya, para penyintas tidak bisa mendapatkan perawatan yang tepat untuk kesehatan jiwa mereka. Program pencegahan bunuh diri yang disusun oleh Kementerian Kesehatan pun berpotensi tidak tepat sasaran karena penyintas ketakutan melaporkan permasalahannya akibat beban biaya setelah menyakiti diri.

“Ketentuan Pasal 52 Ayat 1 Huruf (j) itu juga memperkuat stigma bunuh diri yang menyalahkan penyintas,” jelas Benny Prawira, pendiri ITLI. “Padahal kecenderungan menyakiti diri dan upaya bunuh diri bukanlah sebuah kondisi yang diinginkan oleh individu, melainkan kondisi yang didorong akibat luka psikis dan keputusasaan yang seringkali tumpang tindih dengan kondisi depresi klinis. Jika perilaku menyakiti dirinya ditutupi oleh penyintas karena penyintas takut terbebani biaya, maka penyintas berisiko alami depresi yang semakin parah dan semakin mendorong penyintas untuk menyakiti diri lagi dengan cara yang lebih mematikan ke depannya. Kondisi depresi ini sangat bisa dicegah dan dikelola agar tidak semakin memburuk dan membahayakan nyawa lagi, asalkan mendapatkan jaminan kesehatan.”

Sementara, bagi pengguna narkotika, aturan yang termaktub di dalam Perpres ini pun berpotensi menghambat mereka dalam mengakses program-program pengurangan dampak buruk (harm reduction), yang dapat mencegah transmisi infeksi HIV khususnya di kelompok pengguna narkotika jarum suntik. Program ini merupakan salah satu intervensi kunci di dan menjadi salah satu keberhasilan penanganan HIV/AIDS di Indonesia. Selama ini, program tersebut mendapatkan banyak dukungan finansial dari pihak swasta dan juga donor internasional.

“Terdapat kekhawatiran bahwa, ketika Indonesia sudah mandiri dan tidak lagi mendapatkan bantuan dana dari pihak swasta dan internasional, pengguna narkotika tidak bisa lagi mengakses program-program HIV yang selama bertahun-tahun sudah dibangun infrastrukturnya,” jelas Caroline Thomas, Staf Advokasi PPH Atma Jaya.

Pertimbangan-pertimbangan di atas menjadi alasan LBHM, ITLI, BCI, dan PPH Atma Jaya mengirimkan naskah amicus curiae untuk mendukung upaya uji materiil yang telah dilakukan oleh Rumah Cemara, IPPI, OPSI, dan ICJR. Dalam dokumen amicus tersebut, kami meminta agar Majelis Hakim untuk mengabulkan gugatan pemohon dan mencabut dua ayat yang diskriminatif tersebut.

Dalam rangka memperingati Universal Health Coverage (UHC) Day yang jatuh pada hari ini, tanggal 12 Desember 2020, kami ingin mengingatkan kembali kepada pemerintah Indonesia untuk membangun sistem cakupan kesehatan semesta secara sungguh-sungguh untuk mewujudkan pemenuhan hak atas layanan standar kesehatan terbaik yang dapat dicapai bagi setiap Warga Negara Indonesia. Mimpi tujuan pembangunan berkelanjutan (SDGs) untuk merancang cakupan kesehatan semesta akan sia-sia seandainya masih mengekslusikan kelompok-kelompok marginal.

Narahubung

Albert
Lembaga Bantuan Hukum Masyarakat
awirya@lbhmasyarakat.org – 085939676720

Benny
Into the Light Indonesia
contact@intothelightid.org

Agus
Bipolar Care Indonesia
agushasanh@gmail.com

Caroline
PPH Atma Jaya
thomas135@gmail.com

Into The Light Indonesia
Into The Light Indonesia
Dibentuk pada Mei 2013, Into The Light Indonesia Suicide Prevention Center for Advocacy, Research, and Education (SP-CARE) adalah sebuah komunitas orang muda yang berfokus sebagai pusat advokasi, kajian, dan edukasi pencegahan bunuh diri dan kesehatan jiwa di Indonesia. Into The Light Indonesia adalah komunitas inklusif yang digerakkan oleh orang muda lintas identitas, yang menjunjung tinggi pendekatan program berbasis bukti dan hak asasi manusia.