Selama ini, depresi seringkali identik dengan usia remaja dan dewasa muda. Namun nyatanya, kaum lansia pun tidak terbebas dari depresi. Data dari WHO pada 2015 menunjukkan bahwa prevalensi depresi terbanyak justru berada pada rentang usia 60-64 tahun dan trennya cenderung stagnan hingga turun kembali pada usia di atas 80 tahun. Sebuah penelitian juga menyatakan bahwa prevalensi major depressive disorder pada orang tua mencapai 1-5% di seluruh dunia.
Kendati demikian, hal ini seringkali terabaikan baik oleh keluarga serta pengasuh lansia, petugas medis, maupun penderitanya sendiri. Padahal, depresi pada lansia dapat pula menimbulkan konsekuensi yang cukup berbahaya.
Gejala
Gejala klinis depresi pada lansia memang agak berbeda dibandingkan gejala depresi pada dewasa muda. Beberapa lansia yang menderita depresi bahkan tidak melaporkan perasaan sedih sama sekali.
Namun, gejala yang sering muncul antara lain: perasaan tidak senang terhadap kehidupannya, perasaan bahwa dirinya tidak berguna atau perasaan bersalah, gangguan tidur, gangguan memori dan konsentrasi, dan kelelahan. Gejala-gejala seperti nyeri otot atau nyeri sendi juga kerap ditemukan. Beberapa gejala di atas sering disalahartikan sebagai bagian dari proses penuaan dan merupakan hal yang dianggap wajar sehingga tidak mendapatkan perhatian yang serius.
Beberapa hal dapat mempengaruhi kejadian depresi pada lansia. Faktor resiko yang sering dijumpai antara lain perempuan, tidak menikah, berasal dari sosioekonomi rendah, memiliki penyakit kronis, rasa kesepian, dan riwayat depresi pada keluarga.
Selain itu, menjadi lansia pun tidak luput dari menyaksikan berbagai kemalangan terjadi di sekitarnya. Mulai dari kematian orang-orang tercinta, kepergian keluarga terdekat yang akan menjalani hidup masing-masing, bahkan mengurus pasangan yang menderita penyakit kronis turut berperan dalam membuat lansia semakin rentan terhadap kondisi depresi.
Hal lain yang sering menjadi penyebab depresi pada lansia adalah penyakit-penyakit kronis yang dideritanya. Ketika menua, tubuh kita perlahan-lahan mulai kehilangan fungsi-fungsi normalnya, terutama apabila kita tidak membiasakan gaya hidup sehat semasa muda. Penurunan fungsi inilah yang pada akhirnya membuat orang tua sering menderita penyakit kronis. Penyakit yang kerap berkontribusi terhadap terjadinya depresi antara lain kanker, penyakit jantung, serta penyakit-penyakit syaraf seperti alzheimer, parkinson, dan stroke.
Keberadaan depresi pada penyakit ini bisa jadi merupakan bagian dari perjalanan penyakit tersebut atau dampak yang muncul karena sang penderita merasa terbebani oleh penyakitnya. Keadaan inilah yang membuat depresi sering tidak terdeteksi, karena pihak-pihak yang terlibat merasa gejala depresif tersebut hanyalah kesedihan yang dianggap wajar. Selain itu, gejala-gejala yang sering tumpang tindih, seperti keletihan, kehilangan selera makan, atau gangguan tidur, seringkali dianggap sebagai gejala dari penyakit yang diderita sehingga tidak mendapatkan terapi kesehatan mental yang layak.
Penanganan dan Pencegahan
Sekalipun angka kejadian bunuh diri pada lansia tidak sebanyak pada dewasa muda, kita tetap harus waspada karena setiap penderita depresi umumnya memiliki kecenderungan untuk bunuh diri. Selain itu, depresi pada lansia juga dapat memperparah perjalanan penyakit kronis yang lain. Oleh karena itu, depresi pada lansia tidak boleh dianggap remeh.
Apabila kita menemui orang tua dengan gejala-gejala di atas, apalagi pada orang tua yang telah lama menderita penyakit kronis, ada baiknya kita juga menyarankan mereka untuk memeriksakan kesehatan jiwanya. Jika benar bahwa mereka menderita depresi, mereka bisa diberikan terapi yang sesuai seperti psikoterapi, menghadiri kelompok dukungan, atau diberikan pengobatan yang sesuai.
Kendati demikian, kejadian depresi pada lansia bukannya tidak dapat dicegah. Mempertahankan gaya hidup sehat dengan berolahraga ringan setiap hari, mengonsumsi makanan-makanan bergizi, serta menjaga aktivitas sosial dapat melindungi lansia dari resiko depresi. Tidak hanya itu, dukungan emosional dari keluarga juga merupakan faktor pelindung yang sangat penting untuk mencegah depresi pada lansia.
Apabila kita memiliki orang tua atau kakek-nenek, terutama yang hidup sendiri, tidak ada salahnya jika kita sering-sering bertanya kabar atau mengunjungi mereka. Suasana kekeluargaan, bahkan sedikit perhatian, akan memberi secercah kebahagiaan pada hati para lansia dan menghindarkan mereka dari depresi.
Referensi
Bromet, R. C. (2013). The epidemiology of depression across cultures. Annual Review of Public Health , 34, 119–138. doi: 10.1146/annurev-publhealth-031912-114409
Fiske, A., Wetherell, J. L., & Gatz, M. (2009). Depression in Older Adults. Annual Review of Clinical Psychology , 5, 363–389. doi:10.1146/annurev.clinpsy.032408.153621
Hurley, K. (n.d.). Depression in the Elderly. Diakses 10 September 2018, dari Psycom.net: https://www.psycom.net/depression.central.elderly.html
Lee, Y. J. (2013). Factors Influencing Depression among Elderly Patients in Geriatric Hospitals. Journal of Physical Therapy Science , 25, 1445–1449. Licence: CC-BY-ND 3.0
Sözeri-Varma, G. (2012). Depression in the Elderly: Clinical Features and Risk Factors. Aging and Disease , 3 (6), 465-471.
Unützer, M. P. (2011). Geriatric Depression in Primary Care. Psychiatric Clinics of North America , 34 (2), 469–x. doi:10.1016/j.psc.2011.02.009.
World Health Organization. (2017). Depression and Other Common Mental Disorders: Global Health Estimates. Geneva: World Health Organization. Licence: CC BY-NC-SA 3.0 IGO