Navigasi
Setiap bulan November, Task Force: Suicide Postvention Into the Light Indonesia giat membahas mengenai penanganan pascakematian bunuh diri (suicide postvention). Into The Light Indonesia juga setiap tahunnya mengadakan acara publik untuk memperingati Hari Penyintas Kehilangan Bunuh Diri Sedunia. Hal ini dikarenakan salah satu populasi yang memerlukan intervensi dan pertolongan adalah penyintas kehilangan bunuh diri (suicide loss survivor).
Sayangnya, kita seringkali melupakan kondisi dan kebutuhan para penyintas kehilangan bunuh diri. Padahal, teman-teman penyintas kehilangan bunuh diri sendiri tidak diberikan dukungan yang cukup dari orang-orang di sekitar mereka, sehingga mereka memiliki risiko bunuh diri yang lebih tinggi. Oleh karena itu, diperlukan pemahaman yang cukup mengenai suicide postvention serta informasi seputar teman-teman penyintas kehilangan bunuh diri.
Siapakah penyintas kehilangan bunuh diri itu? Apa saja yang sering mereka alami dan bagaimana kita dapat berempati kepada mereka?
Apa itu penyintas kehilangan bunuh diri?
Menurut American Association of Suicidology (2014), penyintas kehilangan bunuh diri (suicide loss survivor) adalah anggota keluarga atau teman dari seseorang yang meninggal karena bunuh diri. Penyintas kehilangan bunuh diri juga termasuk siapa saja yang dekat dengan seseorang yang meninggal karena bunuh diri atau merasa terpengaruh karena itu[1]. Dari setiap kematian karena bunuh diri, diperkirakan setidaknya ada 4-8 penyintas kehilangan bunuh diri[2].
Siapa saja yang dapat menjadi penyintas kehilangan bunuh diri?
Meski biasanya individu yang paling terkena dampak dari kematian adalah orang-orang yang dekat dengan orang yang meninggal karena bunuh diri, tetapi penyintas kehilangan bunuh diri tidak terbatas pada keluarga dan teman saja.
Menurut Young dkk. (2012), orang lain di sekitar orang yang meninggal karena bunuh diri juga dapat terkena dampak. Mereka diantaranya adalah kekasih atau pasangan, perespon layanan gawat darurat, penyedia layanan kesehatan, kerabat kerja, dan kenalan dari orang yang meninggal karena bunuh diri[3].
Sementara itu, Cerel dkk. (2018) menyebutkan bahwa setiap kematian karena bunuh diri juga diperkirakan dapat berdampak kepada sekurangnya 135 orang yang mendengar atau mengetahui kematian tersebut, termasuk mereka yang membutuhkan bantuan klinis atau dukungan setelah mereka terpapar dengan bunuh diri tersebut[4].
Apa saja yang sering dialami penyintas kehilangan bunuh diri?
Kehilangan seseorang karena bunuh diri seringkali mengejutkan, menyakitkan, dan tidak disangka[1]. Proses berduka yang dihadapi ketika seseorang meninggal karena bunuh diri lebih kompleks dibandingkan dengan kematian akibat hal lainnya[3]. Terdapat beberapa emosi yang sering dialami selama proses berduka, antara lain:
Kebingungan
Rasa bingung sering dirasakan para penyintas kehilangan bunuh diri, terutama mengenai alasan orang tersebut melakukan bunuh diri. Kebingungan menjadi lebih besar ketika tidak ada kepastian apakah kematian terjadi karena benar-benar bunuh diri atau terlihat seperti bunuh diri. Kebingungan yang lebih jauh dapat muncul ketika orang yang meninggal tersebut terlihat merasa baik-baik saja dan penuh harapan di waktu terakhirnya[5].
Rasa bersalah
Penyintas kehilangan bunuh diri seringkali merasa bersalah karena merasa gagal atau tidak bisa melakukan sesuatu untuk mencegah kematian orang yang meninggal bunuh diri. Mereka merasa dihantui oleh tanggung jawab, bahwa kematian tersebut merupakan kesalahannya. Jika hubungan antara penyintas kehilangan bunuh diri dengan orang yang meninggal karena bunuh diri kurang menyenangkan, penyintas kehilangan bunuh diri juga dapat merasa takut terlihat tidak sensitif atau tidak peduli[5].
Rasa malu
Karena adanya stigma terhadap bunuh diri di masyarakat, penyintas kehilangan bunuh diri seringkali merasa tidak nyaman atau tidak dapat menerima bahwa orang tersebut meninggal karena bunuh diri. Mereka juga bisa saja merasa malu akan pandangan masyarakat. Mereka khawatir akan dianggap sebagai seorang teman atau keluarga yang buruk, serta orang lain akan menyalahkan dirinya atas kematian tersebut. Hal ini dapat membuat mereka memilih merahasiakan kematian tersebut, atau berpura-pura bahwa hal itu tidak pernah terjadi, dan hal tersebut dapat menyebabkan tekanan emosi yang serius[5].
Kemarahan
Penyintas kehilangan bunuh diri seringkali marah kepada orang yang meninggal karena telah meninggalkan dirinya. Selain itu, rasa marah juga dapat ditujukan kepada dirinya sendiri (karena rasa bersalah), anggota keluarga, kenalan lain, dan pelayanan kesehatan karena tidak melakukan hal yang lebih untuk mencegah kematiannya. Dalam beberapa kasus, para penyintas kehilangan juga bisa merasa marah kepada Tuhan atau dunia secara keseluruhan[3].
Trauma
Jika penyintas kehilangan bunuh diri menyaksikan kejadian bunuh diri, gambaran kejadian yang eksplisit itu dapat mengganggu dan terus terputar di pikirannya. Jika penyintas kehilangan bunuh diri tidak menjadi saksi dari kejadian bunuh diri, imajinasi akan gambaran kejadian bisa jadi lebih mengganggu. Reaksi-reaksi ini dapat berkaitan dengan gejala gangguan stres pascatrauma atau post-traumatic stress disorder (PTSD)[5].
Proses berduka tersebut dapat menjadi lebih kompleks dengan adanya stigma. Stigma yang ada dapat menghambat proses pencarian bantuan penyintas kehilangan bunuh diri dan menghambat orang sekitar dalam memberi dukungan serta pengertian kepada penyintas kehilangan bunuh diri[1]. Stigma yang ada ini juga berkaitan dengan faktor risiko bunuh diri penyintas kehilangan bunuh diri, seperti isolasi sosial dan merasa kehilangan harapan[6].
Melihat dari hal-hal yang sudah dipaparkan di atas, dampak dari peristiwa bunuh diri juga berpengaruh kuat bahkan setelah bunuh diri terjadi. Proses berduka yang dilalui oleh penyintas kehilangan bunuh diri terkadang tidak sama dengan proses berduka pada umumnya dan sangat mungkin berkembang menjadi kedukaan yang berkepanjangan (prolonged grief disorder) sehingga menimbulkan gejala-gejala disfungsi atau tekanan tertentu (Young et al., 2012). Maka dari itu diperlukan tindakan-tindakan yang berfokus pada pasca-kematian bunuh diri atau suicide postvention agar dapat menghindari dampak-dampak negatif tersebut.
Apa itu suicide postvention?
Penanganan pascakematian bunuh diri (suicide postvention) adalah serangkaian upaya setelah adanya peristiwa bunuh diri, yang dilakukan untuk:
- Memfasilitasi pemulihan individu atau sekelompok orang dari duka dan tekanan akibat kehilangan seseorang yang meninggal karena bunuh diri.
- Mengurangi efek negatif dari paparan media terhadap peristiwa bunuh diri.
- Mencegah dorongan untuk melakukan bunuh diri pada orang-orang yang berisiko tinggi setelah terpapar tentang seseorang yang meninggal karena bunuh diri.
Mengapa suicide postvention penting untuk dilakukan setelah bunuh diri terjadi?
Suicide postvention bertujuan untuk mencegah seseorang atau sekelompok masyarakat tidak terdorong atau menirukan bunuh diri tiruan (copycat suicide) sehingga suicide postvention juga merupakan bentuk pencegahan bunuh diri (suicide prevention) itu sendiri. Mungkin hal ini terdengar tidak logis: bagaimana mungkin mencegah ketika peristiwa itu sendiri sudah telanjur terjadi?
Selain itu, menurut Erlich dkk. (2017), suicide postvention juga penting dilakukan karena diperkirakan, setiap satu individu yang meninggal bunuh diri, paling tidak ada 6 – 28 individu yang secara langsung terkena dampak dari kematian tersebut. Cerel, dkk. (2018) bahkan menambahkan bahwa diperkirakan rata-rata 135 orang dapat terpengaruh setelah mendengar seseorang meninggal karena bunuh diri. Orang-orang ini berisiko mengalami post-traumatic stress disorder (PTSD), depresi, pemikiran bunuh diri, dan penyalahgunaan zat adiktif. Mereka biasa dikenal sebagai penyintas kehilangan bunuh diri.
Banyak dari mereka yang ditinggalkan orang terkasih yang meninggal karena bunuh diri, merasa mendapat dukungan sosial yang lebih sedikit daripada yang mereka butuhkan dalam menghadapi kematian tersebut.
Suicide postvention penting untuk mengurangi risiko terjadinya bunuh diri lanjutan pada populasi dengan risiko tinggi, membina hubungan di antara para penyintas kehilangan bunuh diri, dan membangun sumber daya komunitas dan dukungan sosial untuk para penyintas kehilangan bunuh diri.
Siapa saja yang memerlukan suicide postvention?
Idealnya, suicide postvention dapat diterapkan pada populasi yang berisiko tinggi setelah adanya peristiwa bunuh diri. Menurut Lahad dan Cohen (2006), populasi yang berada dalam risiko tinggi setelah peristiwa bunuh diri adalah mereka yang memiliki kedekatan psikologis, sosial, dan geografis dengan orang yang meninggal bunuh diri.
Dikutip dari Norton (2015), populasi tersebut biasanya terdiri dari:
- Penyintas kehilangan bunuh diri, terutama anggota keluarga dari orang yang meninggal karena bunuh diri. Penyintas kehilangan bunuh diri ini umumnya memiliki risiko bunuh diri yang jauh lebih tinggi.
- Teman-teman, saksi mata, orang yang pertama kali tiba di lokasi kejadian, terapis/psikolog, serta kerabat dari orang yang meninggal karena bunuh diri. Individu tersebut rentan untuk mengalami post-traumatic stress disorder.
- Kelompok rentan dan terpapar berita bunuh diri. Kelompok ini memerlukan adanya pemberitaan yang aman dan positif mengenai bunuh diri yang terjadi, agar dapat menghindari efek bunuh diri tiruan (copycat suicide), khususnya jika orang yang meninggal karena bunuh diri merupakan tokoh publik atau idola yang dikenal oleh masyarakat luas.
Apakah itu bunuh diri tiruan?
Bunuh diri tiruan (copycat suicide) adalah percobaan bunuh diri yang muncul setelah seseorang mengetahui tentang bunuh diri, entah melalui dari lingkungan di sekitarnya atau karena paparan bunuh diri dalam media tertentu (seperti berita, karya hiburan, atau karya seni). Dalam hal ini, keadaan seseorang yang mengetahui adanya bunuh diri ditambah dengan ketiadaan faktor protektif, menyebabkan seseorang menjadi terpicu untuk melakukan bunuh diri.
Meningkatnya peniruan bunuh diri secara mendadak setelah adanya bunuh diri yang terpublikasi secara luas dapat juga disebut sebagai efek Werther. Nama tersebut diambil dari novel karya Goethe yang berjudul “Die Leiden des jungen Werthers” (bahasa Indonesia: “Penderitaan Pemuda Werther“).
Lalu, bagaimana suicide postvention bekerja?
Suicide postvention dapat bekerja dalam ranah yang luas dengan melibatkan berbagai pihak.
- Segera setelah adanya peristiwa bunuh diri, suicide postvention dapat dilakukan dengan bekerja sama dengan media untuk mendorong pemberitaan bunuh diri yang aman. Misalnya, dengan melaporkan berita secara empatik, netral, serta tetap menjaga privasi orang yang melakukan bunuh diri maupun keluarga atau kerabat terdekatnya.
- Menolong orang-orang yang terkena dampak dari peristiwa bunuh diri untuk membantu mengekspresikan rasa berduka dengan cara yang tepat, sehingga dapat menghindari risiko bunuh diri tiruan.
- Membangun kapasitas tenaga dukungan dan perawatan, meliputi profesional dan sebaya (peer-support), untuk mereka yang membutuhkan.
- Menyediakan dukungan dan petunjuk untuk teman dan anggota keluarga yang berkabung.
Terima kasih kepada Koleta Acintya Saraswati, Safira Ryanatami, Sayna, dan Amira Budi Mutiara dari Task Force: Suicide Postvention yang ikut berkontribusi dalam pembuatan konten ini.
Sumber:
[1] American Association of Suicidology. Resources for Suicide Loss Survivors. Diakses dari www.suicidology.org.
[2] Berman, AL. Estimating the population of survivors of suicide: seeking an evidence base. Suicide & Life Threatening Behavior. 2011 (1): 110 – 116
[3] IT Young, Alana I, Danielle G, Nicole L, Kathryn S, Manjusha I, et al. Suicide bereavement and complicated grief. Dialogues Clin Neurosci. 2012; 14: 177-186.
[4] Cerel, J. , Brown, M. M., Maple, M. , Singleton, M. , Venne, J. , Moore, M. and Flaherty, C. (2019). How Many People Are Exposed to Suicide? Not Six. Suicide Life Threat Behav. 2019 Apr;49(2):529-534. doi: 10.1111/sltb.12450
[5] American Foundation for Suicide Prevention. Resources for Loss Survivors. Diakses dari www.afsp.org.
[6] AL Pitman, David PJB, Khadija, Michael BK. The stigma perceived by people bereaved by suicide and other sudden deaths: A cross-sectional UK study of 3432 bereaved adults. Journal of Psychosomatic Research. 2016; 87: 22–29